SEBUAH utas.
Orang terlalu sering meneropong seks dari perspektif agama. Lebih khusus lagi, yang dominan, dari perspektif agama-agama abrahamik.
Padahal, seks itu suatu peristiwa alam. Tidak ada kaitannya dengan agama.
Jauh sebelum ada agama, sudah ada seks. Seks merupakan salah satu cara perbiakan makhluk hidup. Cara lainnya adalah secara vegetatif, khususnya pada tetumbuhan.
Dengan perbiakan secara vegetatif, dapat dihasilkan keturunan yang persis sama dengan induknya.
Namun perkembangan secara seksual, kendati berisiko mendapatkan keturunan yang lebih buruk dari induknya, juga berpeluang untuk mendapatkan keturunan yang lebih baik dari induknya.
Ada kesempatan “rekayasa genetika” secara alami di sana.
Secara alami, konteks seks adalah perkembangbiakan demi survival dan pemuliaan spesies yang bersangkutan.
Alam hanya mengenal hukum sederhana, “survival of the fittest”, hanya yang paling unggul saja yang bisa survive.
Begitulah mekanismenya.
Yang kuat itulah yang menang
Maka di alam, masing-masing individu dalam satu spesies saling bersaing dan berebut untuk bisa berhasil survive.
Pada tingkat sperma saja, satu sperma bersaing dengan sperma lainnya untuk bisa membuahi sel telur.
Pada tingkat individu, terjadi persaingan untuk memperebutkan kesempatan meneruskan keturunannya.
- Ada yang bersaing dengan adu kekuatan.
- Ada yang bersaing dengan adu kecepatan.
- Ada yang bersaing dengan adu kemolekan, burung cenderawasih, misalnya.
- Ada juga yang bersaing dengan adu keindahan bunyi.
- Ada yang bersaing dengan adu keterampilan, misalnya burung-burung manyar jantan yang berkompetisi menganyam sarang dan membiarkan para betina memilih sarang mana yang paling elok dan cocok baginya.
Apakah pada manusia juga terjadi persaingan serupa?
Jelas. Karena pada dasarnya manusia juga merupakan salah satu spesies binatang. Namun barangkali pada manusia, wujud persaingannya lebih beraneka ragam.
Tentu kemolekan dan ketampanan menjadi salah satu poin penting dalam persaingan. Bentuk fisik yang indah serta kekuatan juga sangat diinginkan.
Namun juga keunggulan dalam kecerdasan (yang kerapkali direduksi menjadi nilai maupun kecemerlangan di bangku sekolah) juga bisa menjadi poin untuk adu persaingan.
Selain itu, ada juga yang bersaing dengan kemampuan menjanjikan masa depan yang lebih baik, dengan keunggulan dalam kekayaan, jabatan, status sosial, kedudukan publik, dan sebagainya.
Maka, jangan heran bahwa seorang bandot tua yang bermuka jelek tapi kaya raya lebih berhasil dalam memenangkan persaingan memenangkan seorang perawan ketimbang seorang pemuda tampan dan cerdas tapi (masih) miskin.
Bersaing untuk membuahi
Dalam kancah persaingan bebas, memang betina berhak memilih pejantan yang akan dizinkannya membuahinya.
Tapi dalam persaingan brutal, bisa saja perebutan betina dilakukan dengan kekerasan.
Pada manusia pun, kekerasan masih kerap terjadi. Misalnya ketika ada anak gadis remaja yang dipaksa untuk menikah dengan seorang saudagar tua yang sudah beristeri banyak, namun kaya raya.
Perang juga merupakan salah satu bentuk persaingan brutal di mana dalam kerusuhan di seputar peperangan, tidak sedikit perempuan yang diperkosa.
Memang perkosaan sejatinya juga salah satu bentuk persaingan, namun dengan cara-cara yang brutal.
Secara tertentu, seks merupakan prolog atau bagian awal dari suatu proses penciptaan makhluk hidup baru. Entah apa pun caranya, entah dilakukan secara bebas dan konsensual maupun secara brutal dan pemaksaan.
Tujuannya adalah demi pembuahan.
Tampaknya memang semua individu memiliki dorongan untuk melakukan dominasi genetik. Para pejantan akan saling bertarung untuk memperebutkan kedudukan sebagai jantan alfa dalam kelompoknya, agar bisa membuahi para betina dalam kelompoknya.
Namun juga menyerang para pejantan dari kelompok lain agar dapat memperluas dominasi genetiknya.
Gen Genghis Khan barangkali merupakan yang paling kuat dalam seluruh sejarah manusia mengingat bahwa dia konon telah membuahi ribuan atau mungkin bahkan puluhan ribu perempuan dari berbagai bangsa yang ditaklukkannya.
Maka besar kemungkinan bahwa orang-orang zaman ini yang berasal dari berbagai bangsa bisa jadi memiliki jejak gen Genghis Khan tersebut.
Pertumbuhan janin
Membuahi betina merupakan satu tahap. Setelah itu, proses berikutnya adalah pertumbuhan janin dan selanjutnya proses membesarkan keturunan.
Pada makhluk-makhluk yang lebih tinggi, proses ini diwadahi dalam suatu struktur sosial yang secara umum disebut sebagai “keluarga”.
Sama sekali keluarga bukan eksklusif milik manusia.
Berbagai binatang pun menunjukkan bahwa mereka memiliki struktur sosial yang bisa disebut keluarga.
Tujuan utama keluarga tentu saja demi menciptakan suatu wadah yang kondusif bagi perkembangan makhluk baru itu, sejak dari janin, sampai dewasa, ketika makhluk baru itu siap menghasilkan makhluk baru berikutnya melalui seks dan keluarganya.
Semakin tinggi tingkatan spesies tersebut, bentuk keluarganya bisa semakin canggih, artinya tidak mesti menjadi lebih canggih daripada spesies yang di bawahnya.
Sebagai contoh ada beberapa jenis hewan yang membentuk keluarga secara monogami yang eksklusif membesarkan anak-anaknya, bahkan sampai mereka tua dan mati.
Tapi ada juga manusia yang membesarkan keluarganya dalam struktur yang lebih mirip kawanan serigala, singa, atau monyet di mana ada satu pejantan alfa dengan sejumlah betina.
Perbedaan manusia dan hewan
Lantas apa bedanya keluarga pada manusia dengan pada binatang?
Secara esensial sebenarnya bisa sama saja. Pada manusia, keluarga merupakan suatu unit pranata sosial yang di zaman modern lantas diberi legalitas secara tertulis.
Namun bukan berarti bahwa pada binatang tidak ada pranata sosial. Kita mudah mengamati bahwa pada segerombolan binatang sejenis pun ada sejumlah keluarga, dan masing-masing keluarga juga menjaga dan melindungi unitnya.
Dalam suatu masyarakat, entah binatang maupun manusia, keberadaan suatu unit keluarga memang membutuhkan “pengakuan” dari masyarakatnya.
Pada binatang, pengakuan itu mungkin tercermin dari kemampuan si kepala keluarga dalam menjaga kawanannya dari rongrongan keluarga lain.
Maupun rongrongan dari dalam, ketika ada pejantan muda yang mau menggeser kedudukan si kepala keluarga.
Pada manusia, pengakuan itu dinyatakan dalam pembentukan lembaga keluarga itu secara sosial, entah secara informal, adat, agama, maupun sipil, negara.
Namun kendati sudah ada pengakuan atas keberadaan suatu unit keluarga, itu tidak secara serta merta aman dari rongrongan atas keberadaannya.
Di zaman modern, kita kerap mendengar berbagai istilah seperti “pebinor” dan “pelakor”.
Di masa lampau, pada saat suatu suku berhasil mengalahkan suku lain, maka para lelakinya dibunuh dan para perempuannya dirampas oleh suku pemenang.
Lantas di mana peran agama-agama (khususnya abrahamik) dalam hal keluarga?
Dalam kondisi normal, agama-agama tersebut memberikan legalitas yang relatif kuat terhadap keberadaan keluarga.
Namun bukti sejarah menunjukkan bahwa agama bisa saja memberikan legitimasi bagi perebutan keluarga secara brutal dan kasar.
Simak saja berbagai kitab agama maupun kitab sejarah agama yang besangkutan yang menceritakan bagaimana suatu suku yang dipimpin seorang “warlord” yang dianggap mendapatkan mendapatkan mandat ilahi pergi berperang.
Juga untuk memenangkan peperangan terhadap suku lain dalam rangka menjalankan perintah agama dan kemudian agama itu juga memberi legitimasi atas perampasan para perempuan yang kerap kali dilakukan dengan membunuh para suami mereka.
Apakah yang terjadi pada agama-agama abrahamik itu terlepas dari seks?
Tentu saja tidak.
Peperangan berdasar perintah agama dan mandat ilahi dan perampasan perempuan dari pihak yang dikalahkan itu sejatinya juga demi seks, demi memperkuat kesempatan mereka meneruskan keturunan kelompok mereka, demi survival.
Anak-anak yang terlahir dari para perempuan rampasan itu dianggap sebagai bagian dari suku pemenang, sehingga makin memperkuat kedudukannya.
Bagaimana dengan di luar agama-agama abrahamik?
Konsep keluarga di luar perspektif abrahamik mungkin berbeda bahkan tidak ada.
Di India dan Nepal, misalnya, bisa saja seorang perempuan sekaligus memiliki sejumlah lelaki sebagai suaminya. Mahabharata versi India menyebutkan bahwa Drupadi merupakan isteri dari sekaligus kelima laki-laki bersaudara yang disebut Pandawa.
Di kota Lijiang di China, yang merupakan salah satu masyarakat matriarkat terakhir yang ada di muka bumi, di mana perempuan yang berkuasa, tidak dikenal adanya konsep keluarga.
Seorang perempuan bebas mengambil laki-laki mana saja yang disukainya untuk tidur bersama, menghasilkan anak, hidup bersama, dan kemudian ganti dengan laki-laki lain untuk tujuan serupa.
Semua anak yang terlahir dari komunitas itu dirawat dan dibesarkan oleh masyarakat secara bersama-sama.
Apakah lantas mau dipandang aneh, biadab, tak berakhlak?
Tentu sangat tidak fair kalau mau memandang masyarakat lain dengan ukuran yang berbeda.
Dari dunia luar, apa yang dilakukan oleh agama-agama abrahamik sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitab mereka maupun yang dipraktikkan oleh sebagian dari mereka pun bisa dinilai aneh, biadab, tak berakhlak. Ketika mengizinkan menumpas para lelaki suku lain dan merampas para perempuan mereka untuk dikawini dalam poligami.
Maka, menilai menurut suatu ukuran lain merupakan sesuatu yang tidak fair dan tidak pada tempatnya.
Bagaimana dengan di masa mendatang?
Berbagai kemajuan teknologi telah dan akan semakin memungkinkan didapatkannnya kualitas manusia unggul tanpa harus melalui kegiatan seksual tradisional antara pejantan dan betina, antara laki-laki dan perempuan.
Teknologi cloning yang pencapaiannya ditandai dengan domba Dolly, misalnya, telah membuka kotak pandorra bagi survival spesies homo sapiens.
Besar kemungkinan kelak penciptaan manusia unggul akan lebih atau bahkan hanya terpusat dilakukan di laboratorium.
Soal etika
Biarlah itu urusan para filsuf. Namun alam semesta yang kini mengambil langkahnya melalui pisau teknologi manusia akan menempuh jalannya sendiri.
Seks sebagai sarana perbiakan manusia (dan sudah dipraktikkan pada sejumlah ternak) tidak lagi menjadi hal yang mutlak.
Kegiatan seks akan lebih menjadi acara bersenang-senang saja.
Bila demikian, apakah sudah tidak akan lagi terjadi perkosaan, poligami, dan sebagainya?
Manusia merupakan makhluk yang kompleks. Mungkin perkosaan, poligami, dst, masih akan terjadi, namun bukan demi tujuan seks, melainkan demi kepuasan ego.
Sifat kebinatangan manusia yang brutal tidak akan musnah begitu saja meskipun ada agama dan teknologi. Peradaban, kecerdasan, dan tingkat kesadaran akan sangat banyak berpengaruh terhadap perilaku manusia.
Marcx – 17/05/2021