Hidup matinya seseorang –kata Monsinyur Pujasumarta—memang berada di tangan Tuhan. Meninggal sebagai imam adalah harapan semua pastur, tanpa kecuali. “Cita-cita seorang imam adalah bisa tetap menjadi imam sampai akhir hayat. Panjang-pendek kehidupan kita harus kita terima sebagai anugerah Tuhan. Yang penting bagaimana imam itu menjalani hidup panggilannya dengan suka cita,” kata Monsinyur saat memimpin misa requiem almarhum Romo Eko Wijayanto Pr di Kapel Seminari Tinggi Santo Petrus dan Paulus Kentungan, Yogyakarta, Selasa (13/3) lalu.
Kuliah katekese sebelum akhirnya menjadi imam
Jauh sebelum ditahbiskan sebagai imam diosesan di Keuskupan Agung Semarang, almarhum Romo Eko Wijayanto awalnya berkeinginan menjadi seorang katekis. Karena itu, dia lalu masuk dan kuliah di STKat (Sekolah Tinggi Kateketik) di Kotabaru, Yogyakarta. “Ia suka dan ingin menjadi pewarta unggul Kabar Gembira. Jadi, awalnya berminat dan bercita-cita menjadi guru agama,” kata Monsinyur.
Jadi, tidak heran kalau almarhum ditahbiskan imam ketika usianya sudah cukup berumur. “Dan meninggal dunia saat beliau masih menapaki jalan imamat selama 4 tahun saja,” kata Uskup Agung Semarang. “Tapi kalau Tuhan punya kehendak, ya terjadi saja,” tandasnya.
“Yang penting, Romo Eko menjadi imam sampai akhir hayatnya,” ungkap Bapa Uskup KAS ini. “Dan peristiwa ini harus kita pahami sebagai peristiwa iman. Romo Eko menjadi teladan karena telah mempersembahkan hidupnya untuk Yesus, Sang Imam Agung yang dia kagumi,” katanya kemudian.
“Peristiwa (kematiannnya) memang berat kita terima. Namun kita percaya, hidup berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah,” tandas Monsinyur.
Monsinyur Pujasumarta menambahkan, saat ini kedua orangtua Romo Eko sudah almarhum sejak lama. Yang masih tinggal hanyalah Mbak Anik, adiknya.
Romo Eko Wijayanto Pr dimakamkan di Kerkop Imam-imam diosesan KAS di Kompleks Seminari Tinggi Kentungan. (Selesai)