Tutu sekarang tinggal bersama istrinya di kawasan kelas menengah di Milnerton di pinggiran Cape Town. Para tetangga sering melihat Uskup agung yang berbadan kecil untuk ukuran orang Afrika ini berjalan-jalan sambil menikmati semilir angin pagi. Sapaan pasti disambut dengan lambaian persahabatan. Tapi jangan harap ia akan berhenti untuk mengobrol. Tutu mungkin dikenal ekstrovert di muka umum, tapi sesungguhnya dalam kehidupan pribadinya, ia adalah seorang yang amat pemalu.
Kalau dulu ia selalu rela diwawancarai media, sekarang ini, semua permintaan wawancara ia tolak. Ia masih kadang-kadang menulis dan berbicara untuk acara-acara publik tertentu. Jika ia keluar untuk acara-acara demikian, pastilah keesokan harinya, pernyataannya masih banyak menjadi headline. Dengan cara itulah, ia sekarang ini masih melakukan perannya sebagai nurani bangsa.
Peran itu telah membuatnya kehilangan banyak teman, terutama yang menentang sikapnya yang anti terhadap apartheid. Para pendukung dari bekas presiden Thabo Mbeki mungkin tak akan pernah mengampuni kritik keras Uskup Tutu terhadap kebijakan pemerintah yang menolak AIDS, dan para pendukung presiden Jacob Zuma akan lebih suka jika Tutu membungkam mulutnya mengenai wacana korupsi.
Apartheid dan saksi kenabiannya melawan politik itulah yang menempatkan Tutu di tempat terhormat di pergaulan internasional manakala ia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1984, hanya beberapa minggu sebelum dia ditunjuk sebagai Uskup Anglikan berkulit hitam pertama di Johannesburg.
Jabatan keuskupan telah memberinya perlindungan dari kebrutalan rejim P.W.Botha dan seperti beberapa pemimpin Kristiani lainnya, dia menggunakan jabatan istimewanya untuk berbicara lantang melawan ketidakadilan dalam praktek apartheid. Dengan karisma dan pernyataan-pernyataannya yang mendamaikan namun tetap tegas, Tutu menjadi juru bicara untuk perjuangan baik di negerinya sendiri maupun di luar negerinya. Ada banyak pemimpin spiritual yang radikal, banyak dari mereka termasuk para imam Katolik, ditahan bahkan dianiaya, —akan tetapi Tutu tetap tak tersentuh, dan itu membuat rejim yang berkuasa sungguh sungguh frustasi.
Sebagaimana Uskup Agung Durban, Denis Hurley, mengatakan mengenai Tutu sebagai, “pada pundak tempat kita berdiri” sebagaimana pula Tutu pernah mengutuk praktek apartheid sebagai bentuk bidaah. Tutu berulangkali di berbagai kesempatan mengatakan bahwa praktek apartheid “dapat membuat anak Allah meragukan apakah ia sungguh anak Tuhan.” “Saya percaya bahwa setiap orang adalah Santo sampai ia membuktikan yang sebaliknya,” kata Tutu dalam suatu wawancara di tahun 1989.
Tutu selalu menekankan pentingnya Cinta Tuhan dan mendorong hidup yang dipenuhi doa secara aktif.
“Tuhan mencintaimu bukan karena kamu pantas dicintai. Bukan, melainkan kita pantas dicintai karena Tuhan telah terlebih dahulu mencintai kita,” Tutu pernah menulis.
Jika ia menjadi seorang imam Katolik, ia mungkin akan sering bersitegang dengan hirarki, termasuk juga karena keterlibatan politiknya yang tidak disetujui oleh banyak pemimpin jemaat Anglikan.
Untuk topik topik seperti homoseksualitas dan bio-etika, Tutu memiliki pandangan yang sangat liberal. Ia adalah pendukung awal pentahbisan wanita sebagai imam Anglikan dan juga menilai prosedur pemilihan Uskup Agung Canterbury, pemimpin tertinggi Anglikan, sebagaimana direkomendasikan oleh perdana menteri Inggris dan ditunjuk oleh monarki, sebagai sesuatu yang tidak demokratis dan tidak mewakili jemaat.
Keterlibatannya di kancah sosial dan politik berakar dari perintah injili untuk berpihak pada yang miskin dan tertindas. Karena itulah dia mengambil sikap anti kekerasan dalam perlawanannya terhadap praktek apartheid.
Menjelang akhir tahun 1970-an, bersama pemimpin gereja lainnya, termasuk para Uskup Katolik di Afrika Selatan, dia beranggapan bahwa praktek apartheid dapat dilawan secara damai dengan memakai sanksi ekonomi internasional sebagai alatnya.
Tentu saja, seruan untuk menjatuhkan sanksi internasional terhadap Afrika Selatan beresiko dicap sebagai penghasut dan “penyabot ekonomi” yang bisa dianggap perbuatan makar terhadap negara. Para sejarawan sekarang ini lambat laun sampai pada kesimpulan bahwa kelemahan ekonomi dan tekanan bisnis terhadap Afrika Selatan adalah faktor-faktor yang menentukan bagi punahnya praktek apartheid di negeri itu.
Faktor lainya adalah, tentu saja, protes politik. Dan, Tutu bersumbangsih dalam peristiwa sejarah di tahun 1989 yang menandai matinya praktek apartheid.
Dalam demonstrasi pada pemilu akhir apartheid di bulan September tahun itu, polisi di Cape Town membunuh lebih dari 20 orang, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tak berdosa. Sebagai balasannya, Tutu melancarkan protes keras dengan aksi jalan massal. Setelah proses negosiasi yang alot, presiden baru, F.W. de Klerk, mengijinkan aksi terus berlanjut, dan itu adalah untuk pertama kalinya aksi massal diijinkan oleh pemerintah apartheid. Aksi jalan massal itu mengundang kerumunan lebih dari 35,000 orang dari berbagai ras, yang disebut oleh Tutu sebagai “masyarakat pelangi” dan aksi itu diikuti dengan aksi serupa di seluruh Afrika Selatan. De Klerk kemudian mengatakan bahwa aksi itu membantu mendorong apartheid ke tubir jurang.
Pelangi sebagai metafora untuk menggambarkan Afrika Selatan sebagai bangsa yang demokratis menjadi kenyataan di bulan April 1994. Tutu tetap menjadi pembela yang paling lantang bagi bangsa Pelangi, bahkan manakala pembedaan ras masih membayang-bayangi wacana-wacana publik di Afrika Selatan.
Ketika Tutu memasuki dekade kesembilan dalam hidupnya, orang yang pernah mengaku bahwa ia sungguh menikmati sebagai orang yang dicinta, tetap dipuja dan dicinta oleh jutaan orang di seluruh dunia. Warisannya akan bertahan lama bagi para pelayan setia Tuhan yang Maha Cinta.
Penulis: Gunther Simmermacher
Sumber: Catholic News Service