SELAMA masa pandemi ini, saya rasa menjadi momen bagus bagi kita semua. Khususnya keluarga kristiani untuk melihat kembali identitas kita. Identitas sebagai keluarga Katolik.
Gereja Katolik memahami keluarga sebagai kebersamaan pria dan perempuan yang diikat dalam perjanjian. Pasangan bersama-sama menjadi sakramen yang menghadirkan kasih Kristus dan gereja. Damai sejahtera atau syallom, sederhananya, terwujud ketika atmosfir kehadiran kasih Allah dalam kebersamaan dialami dalam anggota keluarga sehingga mereka ditransformasi oleh Kristus.
Kedatangan covid-19 mengubah kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam keluarga-keluarga tentang kebiasaan, perilaku, sikap, paradigma dan spiritualitas.
Saya menemukan tiga hal penting yang dapat menjadi semacam norma bagi semangat hidup keluarga kristiani.
Mengasihi kehidupan
Pada dekade terakhir ini, khususnya sebelum pandemi covid-19 bertamu, banyak keluarga (muda usia 10-15 th) mengalami kesulitan atau tantangan untuk membangun kehidupan yang indah dan membahagiakan.
Mengapa? Ini karena sebagian besar dari mereka berfokus pada pekerjaan, karir dan aktualisasi diri. Banyak yang bercerita tentang kesulitan dalam mengakmodasi kebutuhan emosi-afeksi-nilai. Kasus-kasus anak-anak remaja merusak diri bahkan bunuh diri beberapa tahun terakhir diakibatkan dari ketidakmampuan memanage emosi negatif.
Namun pandemik menyadarkan betapa berharganya kehidupan. Bayangkan saja hampir semua umat manusia pada masa pandemi merasakan “kematian mengintip di mana-mana.”
Kita takut untuk mati. Kita merasa belum siap untuk selesai dari dunia ini.
Berhadapan dengan itu orang kini lebih serius menjaga kesehatan dengan makanan sehat, olah raga, berjemur, suplemen, cuci tangan, masker, mandi dsb.
Lebih dari sekedar merawat fisik, kita berpikir untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup. Kita semakin bertanggungjawab untuk semakin memanfaatkan waktu, bukan untuk bermalas-malasan dan hidup hedonis semata.
Kita menggunakan hidup agar bermanfaat untuk diri dan orang lain. Kita turut menjaga agar lingkungan sehat. Kita mesti memilih apa yang dapat membuat kehidupan kita berjalan lebih baik. Maka hidup itu perlu dirawat, diisi dan bermakna.
Bagi orang beriman mengasihi kehidupan lebih dari sekedar kebiasaan dan cara pandang tentang berharganya kehidupan. Mengasihi kehidupan itu berarti menghidupi ajaran Tuhan Yesus.
“Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yoh 3:18).
Kalau kita mengasihi kehidupan maka kita memperjuangkan kehidupan dan perjuangan itu dimulai dari diri sendiri sebagai pribadi yang hidup.
Namun terkadang banyak orang tidak tahu bagaimana ia harus mengasihi dirinya. Mengasihi itu sangat riil seperti dengan: menerima diri, merawat fisik, berolahraga, memanfaatkanjam istirahat, meditasi, mensyukuri hari yang dilewati, berkebun dsb.
Kesadaran tentang berharganya kehidupan ini menegaskan kembali tentang salah satu tujuan dari perkawinan sebagaimana Allah katakan yaitu melangsungkan kehidupan, melanjutkan karya penciptaan atau regenerasi.
Tentu bukan sekedar lahir di muka bumi tetapi hidup yang indah, bermakna dan berbahagia. Setiap keluarga dalam arti tertentu memperjuangkan kehidupan.
Kehidupan menjadi lahan untuk pertumbuhan setiap pribadi. Lewat keluarga, Allah mengharapkan setiap pribadi dapat bertumbuh secara utuh. Intinya memiliki hidup yang lebih indah dan bahagia.
Pentingnya kebersamaan
Sebelum pandemi datang banyak keluarga di metropolitan atau daerah urban mengalami kemajuan zaman dan bisnis menyebabkan mobilitas yang cukup, hidup dalam dominasi tuntutan kerja, kelelahan dan minimnya perjumpaan.
Ini membuat perjumpaan-perjumpaan yang mendalam dan intim berkurang karena orang cenderung berburu pemulihan, kenyamanan dan kesenangan diri. Selain itu juga ruang untuk menyadari diri dan keluarga itu sebagai tanda kasih Allah semakin kecil.
Selama pandemi, orang harus lebih banyak tinggal bersama dengan orang-orang yang terpercaya sehat. Sebagian besar dari kita tinggal bersama dengan keluarga dan kluster yang ketat.
Dalam kebersamaan, orang tidak mungkin selamanya bersembunyi di dalam kamar. Ia harus berinteraksi dan terlibat dalam kebersamaan keluarga.
Bagi banyak keluarga, momen ini justru mencairkan kebekuan dan menjadi quality time. Ini juga merupakan kesempatan rekonsiliasi antara orang tua dengan anak dan pasangan.
Anggota keluarga harus menghadapi perasaan yang mungkin tak menyenangkan ketika harus duduk bersama dengan saudaranya sendiri. Banyak kreativitas dalam keluarga lahir dengan memanfaatkan sarana gawai dan internet.
Makan bersama terjadi. Keluarga mengikuti misa streaming bersama. Orang tua menemani studi anaknya dsb
Spirit kebersamaan karena pandemik merupakan berkat bagi kita untuk merajut lagi kebersamaan yang lama hilang dalam keluarga.
Momen ini menebus waktu-waktu yang dulu lebih dilewatkan secara individu. Dalam kebersamaan keluarga menjadi tempat untuk pengungkapan diri, pelayanan, penghiburan, peneguhan dan belajar menerima keluarga, mengerti kebutuhan anak dan maunya orang tua.
Kebersamaan tadi diwadahi dalam rumah. Rumah menjadi tempat di mana anggota keluarga menemukan pertolongan di rumah. Mereka bisa saling terbuka tanpa menjadi palsu. Anggota juga saling memotivasi dan energi dalam perjuangan.
Semua merasakan diperlakukan sama dan setara. Tidak ada pembedaan yang menyebabkan perpecahan.
Kebersamaan mengembalikan keluarga sebagaimana dikatakan dalam kitab suci. “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Mat 19:5).
Pasangan suami-isteri ini meninggalkan orang tua mereka untuk membangun kebersamaan baru di suatu tempat tinggal dimana mereka bersama-sama memulai dinamika relasi sebagai komunitas terkecil.
Kalau keluarga berhasil melewati ini maka kebersamaan bukanlah neraka melainkan surga.
Kita punya Tuhan
Kini, keluarga Kristen cukup berjuang keras untuk mewujudkan keluarganya sebagai Gereja kecil, di mana Allah hadir dan menurunkan berkatNya. Hal ini terjadi karena beberapa hal:
Pertama, generasi meinial merupakan generasi yang mempertanyakan “Apa kegunaan Allah untuk hidup kita?” Allah dan agama dipandang sebagai yang membelenggu individualisme dan “hal yang ga bikin nyaman.”
Kedua pengaruh relativisme pada zaman ini membuat nilai-nilai kristiani seperti kesetiaan, pengampunan dan juga kasih menjadi relative dan kuno bahkkan bagi orang Kristen merasa tidak harus menghayati nilai-nilai itu.
Ketiga, kemajuan teknologi internet dan khususnya penggunaan gawai membuat pasangan suami istri pusing bagaimana mesti membangun relasi, bingung membesarkan anak-anak, dan tidak tahu mesti bagaimana mendidik iman anak. Di tambah sekolah Katolik dan paroki-paroki sedang mencari terobosan dan beradaptasi dengan generasi baru.
Singkatnya, agama (dan Allah) makin dilepaskan dari area kehidupan sehari-hari, atau setidaknya hanya menjadi salah satu perhatian dalam hidup (bukan prioritas).
Pandemik ini menempatkan orang dalam situasi krisis dimana hidup dan mati menjadi pertaruhannya. Orang khawatir kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Orang tidak siap kehilangan pekerjaan.
Orang tidak tahu nasib rejeki mereka di kemudian hari. Orang mengalami frustasi dan stres. Orang takut mati.
Apa yang terjadi kemudian bila orang sudah berhati-hati, mengisolasi diri, menjaga jarak, memperhatikan kebersihan?
Akhirnya orang berpaling kepada Allah. Orang mulai menyebut nama Tuhan. Mulai berdoa. Keluarga menghidupkan devosi. Bersama-sama mengikuti misa streaming.
Orang datang kepada Allah untuk mohon keselamatan, dijauhkan dari wabah, keluarganya terhindar dari petaka. Kembali disadari bahwa meditasi, doa bersama, membaca sabda Tuhan dan instropeksi diri, memberi rasa tenang dan meningkatkan imunitas. Mereka menemukan jawaban apa kegunaan agama dan Tuhan bagi hidup mereka.
Tidak ada yang salah bila kita mengakui rasa takut, kekawatiran dan rasa tak aman kepada Allah.
Dari studi literatur di Iran disebutkan agama memberi efek positif dalam hal spiritualitas bagi kesehatan mental lewat doa virtual, podcast rohani dan beberapa praktik lain antara lain untuk relaksasi batin orang-orang.
Menurut saya, iman kristen pun memberi sumbangan besar terhadap umat ketika berhadapan dengan penderitaan, ketakutan, bahaya kematian serta menghadapi kematian.
Singkatnya, masyarakat, khususnya kita orang Katolik, memalingkan wajah kepada Allah secara lebih mindful dan attentive. Ada kesadaran spiritual tentang jiwa yang mau lari kemana lagi kalau bukan kepada Allah.
Ternyata kita mempunyai Allah. Sekarang Allah benar-benar disadari sebagai sebagai gunung batu, perlindungan yang aman, penyelamat dan pemberi damai.
Lalu dalam kenormalan baru orang semoga memiliki kesadaran bahwa apapun perjuangannya, seberapa berat tantangannya, kita punya Allah yang menciptakan dan menganugerahi kehidupan dan menyertai kita. Masyarakat semakin sadar keluarga kita itu ada di tangan Allah yang telah membentuk keluarga ini.
Menurut Samuel Greenwood, ketika kita berdoa sebenarnya kita sedang menata lagi pemikiran kita tentang Allah yang sesungguhnya mengasihi, baik, berbelas kasih, dan selalu menyertai kita.
Itulah yang dimaksud hidup sebagai sakramen. Dimensi sakramental keluarga justru nampak selama masa pandemic dimana keluarga sungguh merupakan tempat kehadiran Allah.
Sesungguhnya pandemik dapat membantu kita menghayati iman dan menjalani hidup rohani dengan kesadaran lebih, ada bobot tertentu yang menjiwainya.
Tiga norma
Itulah tiga semangat kenormalan baru yang dapat membantu keluarga kristiani untuk memiliki roh dalam membangun keluarga.
Memang, harus digarisbawahi, perubahan paradigma dan kesadaran batin diperlukan untuk menopang kebiasaan baru yang diusahakan selama pandemi covid-19 ini.
Semoga dengan menambahkan tiga hal ini, perjuangan kita di masa pandemi bersama keluarga sungguh menjadi ungkapan iman kita yang sejati.
Tuhan menyertai kita.