INI bertepatan dengan Hari Pahlawan, Jumat 10 November 2023. Sekolah Tinggi Agama Katolik (STAKat) Negeri Pontianak menyelenggarakan kegiatan seminar nasional tentang moderasi beragama 2023. Tema yang diusung adalah “Dampak Moderasi Beragama di Era 5.0”.
Seminar diikuti oleh 13 perguruan tinggi keagamaan dari seluruh Nusantara dan dari berbagai agama. Ke-13 tersebut turut berpartisipasi sebagai pemakalah secara daring maupun luring. Sekitar 160 peserta hadir dalam Gedung Praktik Liturgi mengikuti seminar tersebut.
Kegiatan dibuka dengan tari-tarian oleh mahasiswa-mahasiwi STAKat Negeri Pontianak. Tarian ini bertemakan Tidayu yang mencermikan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghoa, Dayak, dan Melayu.
Ketua Panitia Varetha Lisarani MPd menyampaikan harapan kiranya kegiatan Seminar Moderasi Beragama ini bermanfaat bagi banyak orang dan semoga kegiatan ini dapat diselenggarakan setiap tahunnya.
Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Ketua Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak: Dr. Sunarso ST, MEng. Dalam kesempatan ini, ia mengucapkan banyak terimakasih kepada panitia, partisipan (pemakalah) serta kehadiran narasumber yang luar biasa yakni:
- Pastor Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ, imam Jesuit Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta.
- Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, Guru Besar Bidang Psikologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Acara ini dimoderatori oleh Dr. Felisitas Yuswanto, M.Hum.
Agama itu moderat
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ menyatakan bahwa moderasi beragama bukan agama yang dibikin moderat, pada dasarnya agama sudah moderat. Agama adalah agama, bila moderat.
Ia juga menegaskan pentingnya Moderasi Beragama dalam kehidupan masyakarat Indonesia yang majemuk. Lalu mengingatkan kembali sejarah Kemerdekaan Indonesia dari tahun 1928 dengan terbentuknya Sumpah Pemuda, hingga terbentuknya Pancasila yang sejak awal sudah dihayati oleh masyarakat Nusantara yang menjadikannya bersatu.
Umat muslim sebagai masyarakat beragama yang dominan jumlahnya untuk menjadikan Sila Pertama bukan lagi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. “Itu merupakan bagian dari moderasi,” ungkapnya.
Prof. Magnis juga mengingatkan semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia”, karena bagi orang Kristen Tuhan adalah kasih, pengampun dan penyelamat. “Agama bukanlah suatu ancaman, melainkan agama melindungi orang yang terancam,” ungkap imam Jesuit penulis produktif ini.
Menurut Gereja Katolik, keselamatan ditawarkan bagi semua orang. Rahmat keselamatan bukan datang dari kita, melainkan dari sesuatu yang melampaui kita, yaitu Tuhan.
Tahun Politik yang damai
Prof. Magnis juga turut menyampaikan harapan terhadap Tahun Politik saat ini.
”Saya harap Tahun Politik berlangsung damai. Jangan melibatkan agama terlalu jauh misalnya dengan mengatakan: partai Allah dan partai setan. Pemilu jangan disamakan dengan akhir zaman atau kiamat. Moderasi Beragama istilah yang sangat positif untuk mengatasi kesenjangan antar agama dan suku. Moderasi beragama itu adalah saling menghargai,” tandasnya ahli filsafat moral dan politik ini.
Prof. Sekar sebagai narasumber kedua menyampaikan bahwa Moderasi Beragama penting sebagai respon terhadap adanya radikalisme agama. Baginya, kekerasan bermotif agama masih menjadi ancaman serta kekerasan agama masih terjadi. Tujuan Society 5.0 adalah pola masyarakat yang berpusat pada manusia.
Lalu bagaimana tujuan tersebut itu dapat tercapai?
Pertama, Indonesia perlu pra kondisi khusus yaitu kerukunan hidup beragama. Teknologi era 5.0 digunakan untuk kenyamanan manusia bukan untuk mengalahkan manusia. Teknologi itu juga membantu kehidupan yang nyaman, penuh vitalitas, serta kualitas hidup prima seperti masalah-masalah umum dimasyarakat dapat teratasi.
Lebih lanjut, Prof. Sekar mengatakan bahwa orang yang matang secara agama tidak lagi membenci orang yang beragama lain. Dengan mengacu pada riset yang dilakukan, orang yang ibadahnya ‘bolong-bolong’ adalah orang yang prejudice daripada orang yang sangat tekun beribadah. Atau orang yang tidak beribadah malah lebih moderatif.
Hal ini terjadi karena banyak orang yang ingin melindungi dirinya sendiri dan ingin menunjukkan bahwa dirinya mencaintai agamanya. Meski pada kenyataannya orang yang prejudice, tidak begitu taat beragama.
Ia juga mengingatkan kepada peserta yang beberapa di antaranya adalah guru agama dan calon guru agama bahwa guru agama tidak boleh menjadikan dirinya sebagai kebenaran mutlak, agar guru tersebut dapat menjadi sosok yang mampu menanamkan jiwa-jiwa kerukunan dan toleransi bagi pelajar. “Radikalisme terjadi karena indoktrinasi,” paparnya.
Call for paper
Setelah seminar dengan kedua narasumber utama, dilanjutkan dengan pemaparan makalah dari riset-riset yang dilakukan oleh para penulis atau peneliti. Artikel yang dikirim tentu sesuai dengan tema moderasi beragama, namun juga terbuka bagi keragaman budaya.
Para pemakalah maupun peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dalam ruangan-ruangan yang berbeda, ada yang secara daring maupun luring.
Diskusi yang terjadi begitu menarik, para pemakalah memaparkan materi dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan dari peserta yang membandingkan pemikirannya maupun mencari informasi dari pemaparan makalah tersebut.
PS: Artikel ini dikerjakan bersama oleh Angel Melinda dan Angga Satya Bhakti.