Renungan Harian
Kamis, 26 Agustus 2021
Bacaan I: 1Tes. 3: 7-13
Injil: Mat. 24: 42-51
SETIAP pagi, bapak tua itu sudah tiba di gereja. Setiba di gereja beliau membuka gereja, menyapu panti imam, membersihkan altar kemudian menyiapkan perlengkapan misa.
Setelah semua selesai, ketika saatnya membunyikan lonceng gereja, beliau berjalan ke belakang dan menarik tali lonceng, tanda bahwa perayaan ekaristi akan dimulai dan tanda saat Doa Angelus.
Kemudian akan kembali ke sakristi untuk melayani imam yang akan mempersembahkan misa. Beliau akan merapikan alba dan kasula yang dikenakan imam juga merapikan pakaian misdinar.
Bila misdinar tidak rapi beliau dengan sabar mengajar misdinar agar berpakaian rapi sambil mengulang memakaikan pakaian yang benar dan rapi.
Setelah semua siap beliau membunyikan bel kecil tanda misa dimulai.
Setelah selesai misa, beliau membereskan peralatan misa, mencuci dan mengeringkan piala, sibori dan ampul.
Beliau kembali menyapu panti imam, membersihkan altar dan menutup altar. Setelah itu beliau membereskan alba, kasula dan pakaian misdinar untuk diangin-anginkan.
Setelah semua selesai, beliau ke pastoran, menyerahkan amplop dari kertas-kertas bekas yang dibuatnya dan mengambil kertas bekas lalu pulang ke rumahnya.
Rumah beliau kurang lebih 2 km jauhnya dari gereja. Setiap hari, tanpa terganggu cuaca beliau akan berangkat pada jam yang sama, kadang berjalan kaki, kadang dengan sepeda.
Beliau akan sampai di gereja ketika semua orang belum datang, bahkan pastornya pun belum bangun. Itu yang beliau lakukan setiap hari.
Menurut cerita, beliau menjalankan tugas itu sejak masa mudanya; sejak menjadi guru muda, sampai menjadi kepala sekolah bahkan hingga pensiun dan usia senjanya tugas itu dilakukan selalu.
Di saat beliau sakit pun ketika masih bisa bangun beliau tidak pernah absen menjalankan tugas itu.
Suatu ketika saya ”sowan” berkunjung ke rumahnya, dan bertanya tentang kesetiaan beliau menjalankan tugas itu, beliau terkekeh.
”Tidak ada yang luar biasa yang eyang lakukan (semua orang memanggil beliau eyang), memang begitu seharusnya. Eyang ini kan abdi Dalem, (pelayan Tuhan), jadi kalau eyang ”dikersakake nindaake tugas iki, ya ditindakake kanthi legowo terusing ati. Dadi yen dilakoni nganggo ati, kabeh mesti gawe gumbiraning ati lan akeh berkahe. Sing penting ora mikir entuk apa, dialem apa ora, kepara malah dicacat ora apa-apa amarga dadi abdi mono ngalap berkah. Iba bungahe eyang yen ditimbali nalika isih dadi abdi,” kata eyang.
“Kalau eyang diminta menjalankan tugas ini, yang dijalankan dengan penuh kerelaan dari hati yang paling dalam.
Jadi kalau dijalankan dengan hati, semua akan membuat hati bergembira dan banyak berkat. Hal yang penting jangan berpikir untuk mendapatkan sesuatu, mengharapkan pujian bahkan kalau dihina pun tidak menjadi masalah, karena menjadi pelayan itu kan orang yang mencari berkat Tuhan. Betapa bahagia hidup eyang manakala saat dipanggil Tuhan, eyang masih menjadi pelayan.”
Sebuah pelajaran dan keteladanan luar biasa yang diberikan eyang ini. Betapa sulit menemukan orang-orang seperti eyang ini pada masa ini.
Aku yang sering menyebut diri pelayan dan disebut pelayan kiranya masih jauh dalam hal kesetiaan dan ketekunan dalam pelayanan. Butuh belajar terus menerus untuk bisa setia dalam ketekunan menjalan tugas pelayanan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: ”Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya sedang melakukan tugasnya itu, ketika tuannya datang.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku bagian orang yang dipuji sebagai hamba yang berbahagia?