PERAYAAN Hari Kartini bulan April 2021 sudah lama berlalu. Namun, ada beberapa garis pemikiran menarik dalam catatan kilas balik ini.
Disaripatikan dari acara webinar yang berlangsung 20 April 2021 lalu.
Mengambil tema “Membangun Sinergi Gerakan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial dalam Gereja Katolik dan Masyarakat”.
Program seminar daring ini diselenggarakan oleh Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP-KWI).
Yang menarik, webinar besutan SGPP-KWI ini diikuti oleh 330 orang di jalur zoom dan 78 orang di YouTube.
Para partisipan berasal dari berbagai keuskupan, Kongregasi, lembaga-lembaga mitra dan badan pengurus SGPP KWI.
Tema HAM dalam Ajaran Sosial Gereja
Kegiatan dibuka oleh Sekjen KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC. Ia memberi gagasan umum tentang tema webinar berdasarkan ulasan tentang Ajaran Sosial Gereja.
“Sumber tertinggi dari hak asasi manusia tidak ditentukan dalam kehendak manusia semata-mata, di dalam realitas Negara, dan kekuasaan-kekuasaan publik, tetapi di dalam diri manusia itu sendiri dan di dalam Allah Penciptanya,” kata Mgr. Anton OSC mengutip Kompendium ASG 153.
Oleh karenanya, lanjutnya, hak-hak azasi manusia (HAM) itu selalu melekat pada semua orang. Tanpa pengecualian waktu, tempat dan orang.
Juga tidak dapat diganggu gugat dan dicabut.
Perjuangan kesetaraan gender di Indonesia
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan sumbangsih perempuan Indonesia bernama RA Kartini. Dalam perjuangannya menuju persamaan gender dan HAM kaum perempuan pada umumnya.
Ia juga bicara tentang perjalanan pergerakan perempuan Indonesia dan perkembangan kiprah perempuan masa kini.
Keseluruhan situasi itu, kata Bu Menteri, menguatkan komitmen Pemerintah Indonesia untuk memperjuanglan kesetaraan gender.
Hal itu dia yakini bukan hanya akan berimbas pada kualitas SDM. Tapi juga sampai pada kemajuan negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nara sumber lainnya dalam kegiatan ini adalah:
- Akademisi: Prof. Dr. Anita Lie, M.A., Ed. Ia bicara tentang gerakan gender dan inklusi sosial di Indonesia.
- Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI: Romo Yohanes Aristanto Setiawan MSF yang bicara tentang menerjemahkan ASG ke tindakan-tindakan nyata. Dengan fokus perjalanan Gereja Katolik dalam membangun martabat dan peran wanita.
- Akademisi sekaligus praktisi: Dr. Elisabeth AS Dewi. Ia bicara tentang tantangan perempuan dan keluarga masa kini dalam struktur Gereja dan masyarakat.
Diskusi dalam panggung webinar ini dimoderatori oleh Norberta Yati Lantok dan Theresia Triza Yusino.
Persoalan mengemuka
Dalam dialog usai paparan oleh para pemantik diskusi, berbagai masalah dan tantangan dalam perjuangan kesetaraan gender dan inklusi sosial itu muncul dalam beragam bentuk :
- Ketimpangan gender masih terjadi di Indonesia. Ada penilain berciri stereotif negatif terhadap perempuan. Juga terjadi ketidakadilan pada kaum perempuan dalam mendapatkan akses sosial-budaya-pendidikan-ekonomi-politik, masih berlakunya regulasi diskriminatif, dst.
- Kualitas hidup keluarga yang perlu dibenahi. Terutama relasi dalam keluarga, mengurangi terjadinya praktik ekerasan dalam rumahtangga, dst.
- Pelanggaran terhadap perhargaan martabat manusia. Terjadi dalam bentuk perdagangan manusia, perbudakan, kekerasan dalam segala bentuk, dst.
- Penurunan aktifitas ekonomi dan seluruh dampak pandemi.
Butuh komitmen dari semua pihak
Masalah-masalah di atas itu masuk kategori serius. Juga berdampak buruk bagi keluarga-keluarga dan seluruh masyarakat.
Karena itu, negara butuh partisipasi masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga. Termasuk tokoh pemimpin Gereja Katolik.
Semua diajak berkomitmen mau membangun keadilan dan kesetaraan gender, dan inklusi sosial.
Semua pihak, baik nara sumber maupun partisipan, bersama-sama sepakat menguatkan ide ini.
Bahwa perjuangan kesetaraan gender dan inklusi sosial ini tidak mungkin akan berhasil, kalau hanya dikerjakan sendiri.
Gerakan massif demi kebaikan bersama itu hanya bisa dilakukan berbarengan dengan berbagai komponen masyarakat. Antara lain melalui format berikut ini:
- Membentuk dialog.
- Berjejaring.
- Berkolaborasi dan bersinergi bersama.
Semuanya bergerak bersama dan massif untuk mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi sosial. Itu nantinya akan melibatkan semua pihak: pemerintah, Gereja, akademisi, praktisi, lembaga, komunitas; sampai lini terkecil yaitu keluarga dan masing-masing pribadi.
Mengapa semua lini harus terlibat? Ini alasannya:
- Negara sebagai pemangku kebijakan dan pembangunan.
- Gereja sebagai promotor kesetaraan martabat dan mendorong terciptanya kerjasama di semua kalangan.
- Seluruh umat sebagai bagian Gereja Katolik terlibat di dalamnya, dimulai dengan pemahaman yang benar dan selalu memperbarui diri dalam pemahaman umum.
- Organisasi, lembaga, kelompok, komunitas, dan keluarga sebagai organ-oran yang saling bekerjasama, saling melengkapi dan berbagi cintakasih setulus hati.
- Kaum perempuan dan kelompok minoritas berkebutuhan khusus. Mereka harus mulai berani bicara tentang hidupnya, kebutuhannya, dan cita-citanya.
Di bagian akhir kegiatan, Moderator SGPP-KWI Mgr. Kornelius Sipayung OFM.Cap mengajak seluruh peserta melihat kembali iman Kristen yang berawal dan berpuncak pada Paskah.
“Dia tidak ada di sini. Dia telah bangkit.” (Lukas 24: 1-12).
Kabar Gembira itu terjadi di makam. Di mana Yesus telah dikubur. Disampaikan oleh malaikat. Pertama-tama kepada kaum perempuan.
Maka, berbahagialah kaum perempuan. Karena menjadi yang pertama dan didorong malaikat untuk menyebarkan Kabar Sukacita itu kepada para rasul.
PS:
- Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI dimoderatori oleh Mgr. Kornelius Sipayung OFM.Cap – Uskup Keuskupan Agung Medan.
- Penulis menjadi Sekretaris.