Dika: “Dara, sini lebih dekat …”
Dara: “Ada apa sich?”
Dika: “Ada satu cerita …”
Dara: “Tentang kamu?”
Dika: “No”
Dara: “Tentang Aku?”
Dika: “Bukan”
Dara: “Lalu, tentang apa dhonk?”
Dika: “Tentang Si Gelap Mata”.
Dara: “Apaan sich … Si Gelap Mata? Terlalu puitis ach.”
Dika: “Iyalah”
Dara: “Terus gimana jalan ceritanya?”
Dika: “Dia tahu yang dipikirkannya itu salah, tetapi nekad. Dia tahu yang dilakukannya itu merugikan dirinya sendiri, tetapi dia nekad. Dia tahu apa yang diperbuatnya itu akan membuatnya menyesal, tetapi dia nekad. Dia tahu apa yang terjadi selama ini adalah sia-sia, tetapi dia nekad. Begitu!”
Dara: “Ooo. Aku mulai mengerti. Matanya tidak buta ya?”
Dika: “Matanya normal. Bisa melihat dengan jelas. Tetapi hatinya tidak. Itulah sebabnya, aku menyebut dia Si Gelap Mata.”
Dara: “Kasihan ya.”
Dika: “Betul. Karena yang terjadi dia itu tidak bahagia.”
Dara: “Semoga dia bisa melihat Sang Terang.”
Dika: “Itu yang sedang kuusahakan. Sepertinya dia rindu itu.”
Dara: “Amin”
Hong Kong, 25 April 2020