Home BERITA Sidang KWI 2015: Menuju Gereja Katolik Indonesia sebagai Komunitas Pengharapan (2)

Sidang KWI 2015: Menuju Gereja Katolik Indonesia sebagai Komunitas Pengharapan (2)

0

PADA konperensi pers di ujung Sidang Sinodal KWI tahun 2015 di Kantor KWI, Kamis siang (13/11), Ketua KWI 2015-2018 Mgr. Ignatius Suharyo juga memberi kerangka pikir tentang ke arah mana Gereja Katolik Indonesia akan menuju. Oleh Uskup Agung Jakarta dan Uskup Militer Indonesia ini, Gereja Katolik  Indonesia harus menjadi sebuah Komunitas Pengharapan. (Baca: Sidang KWI 2015: Mengapa Bernama Sidang Sinodal? (1)

Untuk menjelaskan perspektif pemikiran dasar tentang ‘arah’ Gereja Katolik Indonesia ke depan ini, Mgr. Ignatius Suharyo memberi ilustrasi ringan melalui perbandingan makna di balik dua kosa kata Indonesia. (Baca: Pimpinan KWI 2015-2018: Ketua Mgr. Ignatius Suharyo, Sekjen Mgr. Anton Subianto OSC)

Optimisme dan pengharapan

Dalam tataran politik praktis atau perbincangan sehari-hari di lingkungan pemerintahan, demikian ujar Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo, orang senang bicara tentang masa depan yang cerah, projeksi ke depan bangsa yang lebih baik. Semua diucapkan dengan penuh optimisme. Tentang kata ‘optimisme’ ini, Mgr. Suharyo lalu memberi catatan kecil. (Baca:  Pembukaan Sidang Sinodal KWI 2015)

Optimis itu sikap batin menatap masa depan berdasarkan ‘kalkulasi’ manusiawi. Ketika semua pertimbangan-pertimbangan manusiawi dianggap memadai, masuk akal, wajar, maka logikanya yang harus ditarik adalah sebuah kesimpulan ini: keinginan itu bisa tercapai, karena semua ‘hukum alam’ sudah dipenuhi dan proses berlangsung tepat dan lancar.

Kalau semua itu sudah ‘memenuhi syarat’, maka semua orang boleh menatap masa depan dengan optimisme besar.

“Pengharapan atau harapan sama sekali berbeda dengan optimisme,” kata Mgr. Suharyo.

Sebagai umat katolik dengan dasar iman, kosa kata ‘harapan’ adalah satu kata indah. Harapan adalah sikap batin orang beriman kepada Allah. Dasarnya bukan perhitungan-perhitungan manusiawi seperti wajar, masuk akal, benar, melainkan lebih pada dasar iman dimana orang menyerahkan sepenuhnya kepada “penyelenggaraan ilahi”.

“Kalau pun yang ingin dicapai di masa depan itu –katakanlah—tidak sampai atau malah gagal, maka orang beriman tetap berharap, karena sadar dan tahu bahwa pada akhirnya Tuhan akan menggenapinya pada waktunya,” terang Mgr. Ignatius Suharyo.

Harapan amat berbeda dengan optimisme.

konferensi pers kwi
Suasana konferensi pers di ujung Sidang Sinodal KWI tahun 2015 bersama Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo, Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI Romo Guido Suprapto Pr, dan Sekjen KWI yang baru Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC. (Yohanes Indra/Dokpen KWI)

Kalau ternyata atas semua perhitungan dan firasat manusiawi itu keinginan itu menemui kegagalan, maka hasilnya juga akan berantakan. “Kalau dasarnya pengharapan atau harapan akan Allah yang senantiasa akan menggenapi pada waktunya, maka orang beriman tetap percaya dan bukan mundur berantakan,” tandas Uskup Keuskupan Militer Indonesia ini.

Komunitas Pengharapan
Gereja Katolik Indonesia sebagai Komunitas Pengharapan itu lalu mau diarahkan kemana?

Menurut Mgr. Ignatius Suharyo,  hasil Sidang Sinodal KWI tahun 2015 yang telah merumuskan perspektif “jalan bersama-bareng” itu nantinya akan diwujudkan dalam rencana kerja, program yang akan diampu oleh setiap komisi yang ada di KWI.

Menindaklanjuti hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI ke-4) tangggal 2-6 November 2015 yang baru rampung sepekan sebelumnya, maka KWI merasa perlu menata kembali atau merumuskan ulang berbagai kebijakan reksa pastoral dalam pendampingan terhadap keluarga-keluarga. “Untuk hal, Komisi Keluarga KWI yang akan melaksanakannya,” jelas Mgr. Suharyo.

Mengenai derasnya arus buruh migran, misalnya, KWI melalui Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Perantau (KPMP) akan mendorong Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Tangjungselor bekerjasama dalam penanganan reksa pastoral terhadap kaum buruh migran.

KWI melalui KPMP sangat berharap agar kedua keuskupan ini bisa merumuskan langkah terpadu untuk kemudian mengontak Keuskupan Sabah di Malaysia Timur agar ketiga lembaga gerejani lintas negara ini bisa membuat kebijakan reksa pastoral terhadap buruh-buruh migran Indonesia yang bekerja di Malaysia (Sabah) dan negara-negara lain.

Mengapa KWI melirik serius Keuskupan Larantuka di Flores (NTT) dan Keuskupan Tanjungselor di Provinsi Kalimantan Utara? Ini karena fakta menunjukkan bahwa banyak buruh migran Indonesia berasal dari tlatah Keuskupan Larantuka dan mereka mencari akses bisa bekerja ke luar negeri –baik legal maupun ilegal—melalui jalur Nunukan di Kalimantan Utara dimana di situ termasuk wilayah administratif gerejani Keuskupan Tanjungselor.

Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Tanjungselor dengan demikian diharapan bisa mengontak kolega mereka di Sabah, Malaysia Timur, untuk pelayanan reksa pastoral terhadap buruh migran asal Indonesia ini. “Inilah yang dimaksudkan agar Gereja Katolik Indonesia menjadi Komunitas Pengharapan bagi semua umatnya tanpa kecuali,” tandas Mgr. Suharyo.

Komisi PSE, misalnya, diharapkan bisa mengembangkan model pemberdayaan ekonomi masyarakat dan ketangguhan ekonomi rakyat melalui program credit union. “Tujuannya jangan sampai orang miskin jatuh ke tangan lintah darat hingga menjadi miskin dan tak berdaya,” tutur Mgr. Suharyo.

Rumah singgah WKRI

Lebih lanjut, Uskup Agung Jakarta ini juga mengapresiasi langkah WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) yang sudah merumuskan langkah konkret untuk mendirikan ‘rumah-rumah singgah’ (day-care units) untuk menampung anak-anak ketika kedua orangtuanya mesti meninggalkan rumah dan anak-anak kecil ini untuk bekerja.

Pendirian rumah-rumah singgah di areal padat penduduk dan komunitas permukiman dengan mobilitas tinggi sangat perlu, ketika anak-anak ini jangan sampai menjadi ‘anak didik’ pembantu. “Melainkan rumah-rumah singgah mampu menyediakan tenaga pendidik untuk merawat dan mengajari anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya ini untuk bekerja,” terang Mgr. Suharyo.

Sekjen KWI 2015-2018 Mgr. Anton Subianto OSC dari Keuskupan Bandung. (Yohanes Indra/Dokpen KWI)

Pada bagian lain, Sekjen KWI yang baru Mgr. Antonius Subianto Bunyamin OSC ikut memberi catatannya sendiri. Komunitas Pengharapan itu, katanya, nantinya harus bisa menghadirkan “Kerajaan Allah” dalam perspektif iman. Yakni, terjadinya perubahan material dimana setiap orang bisa hidup semakin sejahtera.

“Diharapkan juga terjadinya perubahan sosial dimana setiap orang bersikap saling hormat dan rukun satu sama lain. Tak lupa juga harus ada perubahan spiritual dimana setiap orang beriman menunjukkan sikap makin takwa kepada Tuhan,” terang Uskup Diosis Bandung ini.

Dalam konperensi pers hasil Sidang Sinodal KWI tahun 2015, Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) KWI Romo Guido Suprapto Pr memfasilitasi pertemuan KWI dengan para insan media.

PS: Referensi untuk melihat bagaimana KWI membuka perspektif pengharapan bisa dilihat pada naskah Pengantar Sidang Sinodal Konferensi Waligereja Indonesia 9-12 November 2015.

Kredit foto: Yohanes Indra/Dokpen KWI

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version