“MANA lebih hebat, singa atau harimau?”
Saya tak mampu menjawab. Pengetahuan saya tentang dunia binatang sangat terbatas.
Rupanya itu pertanyaan filosofis.
Singa adalah binatang buas yang berkoloni. Mereka mencari makan dalam kelompoknya. Menghadapi musuh bersama. Hidup dalam konteks kawanan.
Sementara harimau hidup menyendiri, soliter. Kemana-mana sendirian. Bahkan sesudah kawin pun, mereka berpisah. Si betina mengandung, melahirkan dan membesarkan anaknya tanpa si jantan.
Terus apa implikasinya?
Harimau lebih tangguh. Kalau bertarung satu lawan satu dengan singa, harimau menang. Larinya pun lebih cepat, mangsa mudah diterkam.
Harimau juga jago memanjat pohon. Singa menyerah kalah dan hanya bisa termenung saja, bila mangsanya lari ke atas pohon.
Tapi, singa hidup lebih rileks. Maklum guyub dalam kelompok. Mereka bercengkerama. Bahkan tidur pun sampai 20 jam sehari.
Sementara harimau selalu siaga. Hidup was-was, selalu waspada.
Singa berumur lebih panjang. Singa betina mencapai 15-16 tahun. Harimau hanya 8-10 tahun.
Manusia lebih mirip singa
Untung, manusia lebih mirip singa, ketimbang harimau.
Manusia dikodratkan hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Aristoteles, filsuf Yunani kuno, menyebutnya zoon politicon.
Manusia adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan.
Tak hanya itu. Manusia juga inklusif. Merangkul sebanyak mungkin manusia lain untuk masuk ke dalam kelompoknya. Kemanusiaan memadukan mereka.
Ain ni ain, kita semua adalah satu.
Perbedaan menjadi nisbi, bahkan samar-samar. Saat dua atau lebih lubuk hati yang paling dalam berinteraksi, maka perbedaan apa pun tereliminasi, kemanusian yang menang.
Bertemu saudara sebangsa di negeri orang, muncul rasa seperti keluarga sendiri. Tak lagi mempedulikan asalnya, apa agama, atau sukunya.
Sejatinya itulah kodrat makhluk hidup yang bernama manusia.
Teringat kisah puluhan tahun lampau, di Semarang. Kemudian baru sadar bahwa teman-teman sekolah sejak SD sampai SMA, tidak homogen. Ternyata berbeda suku, agama, dan tingkat sosial.
Asep, Amsal, dan Made adalah sahabat SMP. Ternyata, Asep orang Sunda, Amsal dari Minang dan Made, tentunya bersuku Bali.
Asep dan Amsal jelas Muslim, sedangkan Made Hindu. Dulu, kami bercanda, bermain bahkan juga berantem tanpa sadar akan perbedaan itu.
Didik dan Sigit kawan di SD. Keduanya asli Jawa, pandai bermain bola dan beragama Islam.
Ada juga Hinza Simanjuntak yang Batak, beragama Protestan, dan Gwan Kiem yang keturunan Tionghoa, beragama Katolik.
Bing Sien beragama Budhis, jago main bulutangkis dan sering mentraktir teman-teman “pribumi” yang sangunya pas-pasan.
Sebetulnya perbedaannya cukup kompleks. Namun, sekali lagi, kala itu tak pernah melahirkan masalah apa pun. Bahkan sadar berbeda pun tidak.
Semakin ke sini, paham dari luar mengoyak inklusivitas. Entah mengapa, kemudian ia membelah kemanusiaan menjadi berkeping-keping.
Meski tersisa di sana-sini, kini, gempuran hebat untuk memisah-misahkan masyarakat semakin mencolok mata.
Yang dulu dianggap sebagai biasa-biasa saja, kini sengaja ditiupkan sebagai penghalang. Tak sadar bahwa gerakan seperti itu membahayakan kehidupan bersama, berarti juga mengancam diri sendiri.
“Kami” dan bukan “kita”
Inklusivitas semakin tergerus. Orang dengan gampang memilah orang lain berdasar perbedaan, bukan persamaan. Suku atau agama yang berbeda dikeluarkan (to exclude) dari kelompok.
Orang yang berbeda adalah bukan “kita”, melainkan “mereka”.
Gejala “kami” semakin kokoh dan muncul di mana-mana.
Bahkan beda daerah dari suku yang sama atau beda aliran dalam satu agama pun, menjadi persoalan besar untuk hidup berdampingan dan bekerja sama.
Di ranah organisasi, simtom ini juga menggejala.
Keputusan diambil elitis dan bukan kolegial. Banyak yang lupa, bahwa subyektifitas berkurang bila keputusan diambil bersama-sama.
“Collective subjectivity is objectivity.” (Anonim)
Keputusan lebih sering diambil semata-mata atas nama wewenang. Lebih mudah dan tak bertele-tele. Cepat memang sering perlu, tapi bukan satu-satunya variabel yang harus selalu dipegang teguh.
“Jika ingin berjalan cepat, jalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, jalanlah bersama-sama.” (Yasonna Hamonangan Laoly – Menkumham, 2 Januari 2018)
Inclusive yang berarti “open to everyone; not limited to certain people” atau terbuka bagi siapa saja, rusak oleh perbedaan primodial yang semakin tajam.
Dulu, Pemakaman Bergota Lama di wilayah Randusari, Kota Semarang -milik pemerintah- menjadi lokasi makam tanpa membedakan agama.
Sekarang, Bergota Baru, Kembangarum Semarang, memisahkan makam mereka yang berbeda agama.
Pola pemakaman eksklusif seperti itu, sekarang jamak di banyak kota, di Indonesia. Bahkan sesudah mati pun manusia masih dipisahkan karena agama.
Menyisihkan mereka yang berbeda identik dengan mendegradasi sinergi. Padahal, merengkuh sebanyak mungkin liyan mampu mencetak produktivitas dengan suasana yang sejuk.
Perbedaan tidak hanya sumber energi, tapi juga mencetak kinerja yang lebih sempurna. Menyeragamkan adalah mengingkari perbedaan, dus mendegradasi level energi.
Prestasi pun merosot.
Singa berumur panjang dan hidup bahagia karena berkelompok dan inklusif. Sebaliknya, masyarakat rapuh bila “Bhinneka Tunggal Ika” tak lagi dipegang erat.
Inklusif adalah merayakan perbedaan. Ucapkan “selamat datang” kepada semua orang, karena kasih itu inklusif.
Ia menaikkan level energi dan mengukir pencapaian yang diidamkan bangsa Indonesia.
“All is welcome. Love is inclusive, not exclusive.” (Anonim)
@pmsusbandono
8 Juli 2020