Puncta 01.02.23
Rabu Biasa Iv
Markus 6: 1-6
SEKARANG ini sudah tidak heboh lagi orang-orang –the crazy rich man– yang pamer gaya hidup mewah, setelah beberapa orang diadili karena melakukan penipuan.
Mereka itu disebut “flexing” yaitu suka memamerkan kekayaan di muka umum. Pamer mobil mewah, rumah mewah, barang-barang mahal bermerek luar negeri.
Demi memenuhi gaya hidup sosialita zaman sekarang, orang-orang itu mempertontonkan barang-barang impor bermerek yang mahal-mahal.
Seolah-olah orang baru diakui jika di tubuhnya bergelantungan aneka barang yang mahal; kalung dengan liontin merk Swarozki, tas dari Prada, pakaian merk Dior, arloji merk Rolex atau sepatu Giordano.
Kita cenderung tidak menghargai hasil karya sendiri. Kita tidak bangga dengan baju lurik bikinan Pedan, Klaten, tas atau sepatu kulit dari Manding, Bantul.
Penyanyi Ari Wibowo sudah lama menyindir gaya hidup para sosialita yang “sok luar negeri” dengan lagunya Singkong dan Keju.
Kau bilang cinta padaku. Aku bilang pikir dulu. Selera kita terlalu jauh berbeda.
Parfummu dari Paris. Sepatumu dari Itali.
Kau bilang demi gengsi. Semua serba luar negeri. Manakah mungkin mengikuti caramu yang penuh hura-hura.
Aku suka jaipong,
kau suka disko Oh, oh, oh. Aku suka singkong, kau suka keju oh, oh, oh.
Aku dambakan seorang gadis yang sederhana. Aku ini hanya anak singkong. Aku hanya anak singkong.
Orang-orang Nazaret tidak bangga dengan kehadiran Yesus yang membuat mukjijat dimana-mana. Ia mengajar dengan penuh kuasa. Bahkan roh-roh jahat pun taat kepada-Nya.
Mereka malah mempertanyakan dari manakah hikmah dan kuasa yang didapat-Nya itu?
Mereka mengorek-orek latar belakang keluarga-Nya. Mereka kecewa karena keluarga-Nya berasal dari orang-orang biasa, rakyat jelata yang tidak punya status sosial tinggi dan terhormat.
“Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria? Bukankah Ia saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan ada bersama kita?”
Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.
Anak Tukang kayu ditolak. Anak singkong tidak dihargai. Status seperti itu tidak menambah gengsi.
Begitulah kecenderungan masyarakat kita, mental dijajah berabad-abad menjadikan kita bangsa yang inferior, minder, tidak bangga pada diri sendiri.
Untung kita punya Pak Jokowi yang dengan bangga dan tegak berdiri sejajar dengan pemimpin-pemimpin dunia di pertemuan G20 kemarin.
Dia menjadi contoh agar masyarakat kita berani berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.
Dia juga berani melawan kebijakan kaum kapilatis yang berusaha menguasai ekonomi dalam negeri.
Sikap bangga dengan diri sendiri harus ditumbuhkan. Jangan mau menjadi budak bangsa asing.
Yesus menyindir orang-orang Nazaret, “Seorang nabi dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.”
Apakah kita juga bersikap seperti orang-orang Nazaret itu?
Naik bukit turun ke lembah,
Turun gunung menyusuri kali.
Budaya asing disembah-sembah,
Budaya sendiri tidak dihormati.
Cawas, aku bangga buatan Indonesia…