SANTA Bunda Teresa dari Calcutta (1910-1997) adalah orang “besar”. Ia menjadi sosok fenomenal di abad modern. Justru karena ia mampu melakukan hal-hal sangat sederhana yang barangkali orang modern sudah “lupa”. Yakni, semangat mau menolong sesama dengan jiwa besar dan hati rela berkurban.
Ia merawat orang-orang sakit dan terlantar yang tergeletak begitu saja di kawasan kumuh di Calcutta, India.
Atas semangatnya berkurban dan semangat belarasanya yang begitu besar, Ibu Teresa diganjar Hadiah Nobel Perdamaian (1979) dan oleh Tahta Suci Vatikan diberi predikat Orang Kudus dengan sebutan “Santa”.
Di Indonesia, sejumlah kecil umat Katolik senantiasa ingin meneladani semangatnya untuk berbelarasa dengan sesama yang menderita dan terlantar.
Inilah yang disebut Kelompok Kerabat Kerja Ibu Terasa – I Thirst Movement (KKIT-ITM) Indonesia.
Mutiara kehidupan
Apa yang bisa diteladani dari sosok pribadi Santa Bunda Teresa dari Calcutta ini?
Bagi Sinta Ekoputri Hidayat, dalam diri sosok pribadi Orang Kudus dari Calcutta ini, kata dia menjawab Sesawi.Net dan Titch TV di rumahnya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, awal September 2022 lalu, “Kita bisa langsung melihat mutiara paling berharga yang sebenarnya selalu ada di dalam diri setiap orang. Yakni, keinginan paling luhur dari dalam lubuk terdalam hati setiap manusia – ingin menolong sesamanya.”
Dalam wawancara khusus ini, Sinta berkisah tentang perjalanan hidup spiritualnya. Disampaikan bersama Sally, salah satu penggiat KKIT-ITM Indonesia.
Mereka berdua secara berbarengan berkisah tentang kegiatan menggelar Perayaan Ekaristi dalam rangka kegiatan peringatan 25 tahun meninggalnya Santa Bunda Teresa dari Calcutta (1997-2022) di Gereja Katedral Jakarta, Senin petang tanggal 5 September 2022.
Di sela-sela perbincangan tentang Perayaan Ekaristi bersama Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo dan kiprah mereka di KKIT-ITM Indonesia itu, Sinta Hidayat juga syering iman.
“Tuhan ubah hidup saya melalui Ibu Teresa dari Calcutta”
Tentang pergulatan pribadinya untuk mengenal semakin lebih intens tentang “mutiara hidup” dari sosok Orang Kudus Bunda Teresa dari Calcutta itu.
Semua terjadi tanpa sengaja. Hanya dari kesan sekilas atas dua tulisan menarik tentang beliau di Majalah Intisari dan Harian Kompas.
“Dan itu sudah terjadi kira-kira 35 tahun lalu,” kata Sinta, alumnus SMA Sedes Sapientiae Semarang.
Lalu, gejolak hatinya yang begitu sangat terkesan pada “pandangan bacaan pertama” akan sosok Ibu Teresa dari Calcutta itu semakin bergelora, ketika Sinta tanpa sengaja bisa melihat foto “fenomenal” di ruang kamar praktik dokter pribadinya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Royani Ping dari Sesawi.Net mengawali syering iman panjang lebar ini dengan pertanyaan ringkas tapi dalam.
“Apa yang membuat Anda tertarik pada sosok Ibu Teresa dari Calcutta dan pengaruh apa yang Anda alami dalam hidup Anda?” tanya Direktur Yayasan Bhumiksara dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya Jakarta.
Sinta Hidayat lalu menjawabnya panjang lebar. Dari agenda semula kesempatan wawancara khusus hanya berlangsung 30 menit, pembicaraan dengan Sesawi.Net dan direkam oleh Titch TV menjadi molor sangat panjang.
Bukan karena apa, tapi karena syering iman itu begitu mendalam, sangat personal, dan buah-buah rohaninya kemudian teruji dalam praksis.
Gerakan “Aku Harus” Indonesia
Dari yang semula takut dan serba dihantui emosi parno setiap kali harus berkunjung ke kawasan permukiman orang-orang terpinggirkan di wilayah kumuh di Jakarta, maka bersama kelompok sangat kecil peduli kemanusiaan bernama Kerabat Kerja Ibu Teresa – I Thirst Movement (KKIT-ITM), Sinta Hidayat dan Sally kemudian berani turun ke lapangan ikut “uji nyali”.
Akhirnya, bersama-sama sejumlah anggota dan penggiat KKIT-ITM Indonesia, mereka berdua ikut terjun ke “lapangan”.
Guna bersama-sama menemui saudara-saudari sesama anak bangsa dan ikut berbelarasa dengan mereka. Dilakukan melalui berbagai program amal kasih kemanusiaan.
Simak kisah syering imannya di bawah ini. (Berlanjut)