Baru saja saya menerangkan kepada para mahasiswa tentang “Cogito Ergo Sum”, ungkapan Rene Decartes yang cukup biasa terdengar atau diucapkan mereka yang belajar filsafat.
Kata-kata itu sering diartikan “saya berpikir maka saya ada.” Maka kalau saya tidak berpikir, saya tidak ada. Pikiran adalah sentrum. Bagi Decartes, pikiran harus menemukan pijakan kokoh untuk membangun fondasi pengetahuan. Karenanya, sikap skeptis Decartes sebenarnya bukanh sebuah negativitas total terhadap semua kenyataan, melainkan sebuah dalil bagaimana manusia harus menemukan dasar paling kokoh untuk menemukan kebenaran dalam pengetahuan.
Kebenaran tidak pernah ditemukan kalau proses berpikir tidak didasarkan pada hukum atau dalil yang kokoh dan kuat. Sebelum ditemukan, maka kita tidak boleh lekas mengatakan apa yang kita ketahui sebagai kebenaran sejati. Maka segala sesuatu yang masih bisa kita sangsikan, belum menunjuk pada kebenaran sejati.
Dan begitulah, apa saja yang ada di dunia ini sebenarnya bisa kita sangsikan, dan tinggalah diri kita yang menyangsingkan. Saat itulah tiba-tiba kita akan tersadar bahwa kebenaran sejati sebenarnya ada di dalam diri kita sendiri yang sedang menyangsikan.
Seperti itulah kira-kira Decartes mau mengatakan apa yang dia maksudkan dengan “Cogito Ergo Sum”. Maka skeptisisme sebenarnya bukan sebuah sikap yang melulu negatif, namun justru sebuah model atau cara agar manusia mampu terus bertanya dan mempertanyakan apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam dunia pengetahuan dan kehidupan konkret.
Makin tak menemukan
Dan siang itu, setelah semua mahasiswa berlalu dari hadapan saya, apa yang baru saja saya ucapkan di hadapan mereka masih berputar di otak. Kesangsian justru makin mengigit. Justru semakin berpikir sebenarnya saya makin tidak menemukan keberadaan diri saya. Persis sebaliknya seperti apa yang dikatakan oleh Decartes.
Mengapa demikian? Karena saya menemukan kenyataan bahwa pikiran tidak banyak dipergunakan dan dihargai di negeri ini. Terutama kalau kita mau menempatkan pikiran itu di dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ambil contoh, Kompas (Kamis, 17/10/2011) pada halaman 4 mengangkat kembali persoalan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk membuat komisi tersebut sudah dua kali dilakukan, namun dua kali pula rontok di tengah jalan. Semuanya jelas karena belitan kepentingan politik yang sangat rumit. Masa lalu Indonesia dengan tumpukan persoalan HAM berat merupakan kendala yang sangat menakutkan bagi para pelaku politik yang terjerat dengan berbagai peristiwa masa lalu yang penuh kekejian dan kekerasan, sebut saja kasus Talangsari Lampung, Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa para aktivis 1997/1998, tragedi kemanusiaan Timor-Leste 1999 dan tentu saja tragedi 1965.
Kasus-kasus tersebut sebenarnya sudah dicoba untuk diselesaikan lewat pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc meski banyak pihak menilai pengadilan ini akan banyak mendapat campur tangan politik yang akan menggeser tujuan pengadilan HAM tersebut. Pelaku kejahatan masa lalu mungkin masih akan bebas dari tuntutan tanggungjawabnya lewat pengadilan HAM Ad Hoc.
Namun faktanya, pengadilan HAM Ad Hoc pun sampai sekarang juga masih mandeg, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Semua usulan dan rekomendasi untuk menyelesaikannya sudah sampai ke tangan Presiden SBY. Namun hingga kini tak ada tindakan konkret dari SBY. Kuncinya memang pada kehendak politik SBY untuk berani mengambil sikap, meski tidak mudah baginya. Karena bisa jadi akan menyeret dirinya sendirinya atas pelanggarah HAM berat masa lalu, terutama pada kasus tragedi Timor-Leste 1999.
Skeptisisme masa lalu
Masa lalu Indonesia dalam konteks HAM selalu membawa perasaan skeptis yang begitu kuat. Namun betapa kuatnya perasaan skeptis itu, tidak memudarkan para penyitas (survivors) untuk terus berjuang. Tengoklah perjuangan Bapak Dionisius Utomo Rahardjo dan Ibu Misiati, orang tua Petrus Bima yang hilang pada periode 1997-1998.
Petrus Bima adalah salah satu aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) dari Malang, Jawa Timur yang ditangkap oleh Tim Mawar, Kopassus. Menurut laporan Komnas HAM, penculikan para aktivis ini akan menyeret sembilan orang anggota tim tersebut, Kopassus dan pejabatnya, hingga Presiden Soeharto untuk bertanggungjawab.
Tentu kalau sudah menyangkut Soeharto, semua pelanggaran HAM seolah menguap dan dibiarkan berlalu. Namun tidak demikian dengan Bapak Utomo dan Ibu Misiati. Mereka bertekad bahwa anaknya harus ditemukan entah dalam keadaan hidup atau mati. Ibu Misiati ingin mengetahui kapan dan dimana anaknya meninggal.
Keinginan seorang ibu sederhana ini sampai sekarang belum terjawab. Kedua orang tua Petrus Bima masih terus berjuang untuk mencari tahu kebenaran tentang anaknya, meski mereka harus menggadaikan rumah untuk biaya mondar-mandir Malang-Jakarta demi bertemu Komnas HAM atau lembaga-lembaga pejuang HAM lainnya. Karena rumahnya digadaikan, Bapak Utomo hanya mendapatkan Rp. 317.000 sisa dari pendapatan pensiunnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Teman-teman Petrus Bima sesama aktvitis PRD yang sudah menjadi pejabat pun tampaknya cuci tangan dalam mendukung perjuangan Bapak Utomo dan Ibu Misiati. Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum PRD dan sekarang anggota DPR atau Andi Arief, teman Bima di Solidaritas Mahasiswa Indonesia yang sekarang menjadi staf khusus Presiden bidang kebencanaan sama sekali tidak memberikan sepeserpun dukungan kepada orang tua Petrus Bima.
Para rekan sesama aktivis Petrus Bima yang lain pun sudah terbutakan oleh kepentingan politik dan kepentingan dirinya sendiri. Mereka tak lagi peduli pada masa lalu yang telah membawa korban teman-temannya sendiri yang turut mendukung mereka mencapai posisi dan jabatan politis tersebut.
Tampak sekali di sini tidak ada kawan yang tulus dalam politik. Yang ada hanyalah kelicikan yang dibalut oleh rasionalisasi yang sopan. Dalam perangkap ruang politik seperti itu, siapapun akan tidak pernah dihargai hidupnya. Saat dia tidak sejalan dengan tujuan dan kepentingan politik, maka akan dilibas bahkan dibinasakan.
Maka kalau pikiran saya, Anda, kita semua ditempatkan dalam konteks politik seperti itu, kita semua akan menemukan bahwa sebenarnya diri kita tidak ada. Semakin berpikir, semakin kita menemukan tiadanya penghargaan atas keberadaan diri. Selama penyelesaian HAM masa lalu tidak pernah dituntaskan, maka tak ada pikiran yang kokoh untuk menemukan kebenaran. Tidak saja pikiran, hidup kita yang paling asasi pun tidak pernah diperhitungkan sebagai sesuatu yang berharga. Semoga ke depan tidak demikian dan harapan bisa mengalahkan perasaan skeptis itu….