Puncta 12.11.23
Minggu Biasa XXXII
Keb. 6: 12-17; I Tes 4: 13-18: Matius 25: 1-13
MENANGGAPI duta Pandawa yang meminta kembalinya Negeri Hastina, Patih Sengkuni mengusulkan harus dibela dengan peperangan.
Begitu pula Raja Awangga, Adipati Karna siap maju perang sebagai senopati membela Kurawa. Mereka tidak setuju, jika Hastina diberikan kepada Pandawa. Sengkuni yang pandai merangkai kata, berusaha membujuk rayu agar jangan diserahkan.
Begawan Bisma, sesepuh para Kurawa, memberi nasihat bijaksana. Ia menjelaskan asal muasal Negeri Hastina dan sesungguhnya Pandawalah yang berhak memiliki Kerajaan itu.
Ayah Duryudana itu hanya dititipi oleh Pandu, ayah Pandawa.
“Wong dititipi iku kudu mbalekake, wong utang kudu nyaur, wong nandur bakal ngundhuh,” kata Sang Resi Bisma. Artinya, orang titip harus mengembalikan, orang pinjam harus melunasi, orang menabur bakal menuai.
Ternyata nasihat Bisma yang bijaksana itu tidak digubris para Kurawa. Mereka memilih perang melawan Pandawa. Kedegilan dan keserakahan akhirnya menghancurkan segalanya.
Sengkuni dan Karna mewakili “the smart people.” Sedang Resi Bisma adalah “the wise people”.
Orang pandai lebih cepat berbicara dan bereaksi dengan tajam. Orang bijak berhati-hati dalam bicara. Ia lebih mengutamakan perdamaian daripada konfrontasi.
Sengkuni dan Karna merasa bisa mengatasi masalah. Mereka sadar akan kemampuan diri dan cenderung menyombongkan diri.
Bisma juga punya kemampuan tinggi, tetapi dia sadar akan kekuatannya sendiri. Ia bersikap rendah hati.
Sengkuni berpikir dengan logika. Jumlah Kurawa banyak, pasti menang melawan Pandawa yang hanya lima orang.
Bisma berpikir tidak hanya dengan logika, tetapi juga dengan perasaan, intuisi. Dia mempertimbangkan berbagai kemungkinan sebelum memutuskan. Perdamaian lebih diutamakan daripada peperangan.
Yesus memberi gambaran tentang gadis yang bodoh dan gadis yang bijaksana. Gadis bodoh itu hanya membawa pelita. Gadis bijaksana selain pelita, juga membawa minyak.
Mereka yang bijak berpikir jauh ke depan. Dengan intuisinya mereka menyiapkan diri jika pengantin datang terlambat. Intuisi mereka benar. Mereka tetap bisa menyiapkan diri dan boleh masuk ke dalam perjamuan pengantin.
Manakah kecenderungan karakter diri kita, sebagai “smart atau wise people?”
Tidak mudah memang, tetapi tidak berarti kita tidak bisa. Jika kita mau terus belajar dari pengalaman, pastilah kita akan bisa menjadi orang bijaksana.
Pergi ke Laweyan untuk belajar batik,
Harus tekun dan sabar agar bisa bikin pola.
Pengalaman orang adalah guru yang baik,
Kita bisa belajar untuk jadi lebih bijaksana.
Cawas, jadilah pribadi bijaksana
Rm. A. Joko Purwanto, Pr