“Mengobarkan Semangat Romo Mangun dari Grigak dengan Roh Relawan yang Majemuk”
Demikianlah tema yang diusung pada rangkaian acara regenerasi kepengurusan tahun kedua Komunitas Relawan Grigak.
Rangkaian acara itu dimulai dengan mancakrida, Perayaan Ekaristi Syukur atas ulang tahun Komunitas Relawan Grigak dan pengukuhan pengurus baru komunitas Relawan Grigak tahun 2020.
Sabtu, 8 Februari 2020, adalah sebuah hari yang menjadi satu deret prosedur perekrutan pengurus baru Komunitas Relawan Grigak.
Menuju Pantai Gigrak
Pukul 08.00 WIB para calon pengurus dan anggota Relawan Grigak tahun 2019 sudah bersiap di titik kumpul Realino, kampus Universitas Sanata Dharma.
Perjalanan panjang itu dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh Titus Halawa (mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta). Rombongan Relawan Grigak ini mulai bertolak ke Grigak dengan menggunakan sepeda motor.
Sekitar pukul 08.20 rombongan yang membawa obor semangat Romo Mangun sudah melambung dan siap menyurusi Jalan Demangan Baru, jalan di antara kompeks Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, jalan di depan kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD hingga lampu merah Terminal Giwangan, mengaruri Jalan Imogiri, melewati Jembatan Edukasi Siluk, Kantor Camat Panggang, sebelum akhirnya berlabuh di Pedukuhan Karang, Desa Girikarto.
Perjalanan memang selalu memberikan kesan tersendiri bagi setiap anggota Relawan Grigak. Baik anggota lama maupun calon pengurus baru selalu saling menyalib jalan dengan beberapa alasan.
Misalnya, tidak ingin mendahului, tidak ingin terlalu cepat, tidak ingin ketinggalan (karena belum hafal rute), dan bahkan ada juga pemberhentian serentak di wilayah kecamatan Panggang, Gunung Kidul ketika ada anggota Relawan Grigak yang ingin menyelesaikan beberapa urusan di ruangan ATM BRI.
Demikianlah para pengabdi Negeri dan Sesama berjuang mengobarkan semangat Romo Mangun.
Ketika tiba di Pedukuhan Karang, Suratno selaku Dukuh Karang sudah siap menyambut rombongan dengan penyambutan Romoh dari rumahnya yang berstruktur khas Jawa.
Sebagaimana frasa Jawa “Sugeng Rawuh” Dukuh Karang berusaha menyambut rombongan pembawa obor semangat Romo Mangun yang pernah berkobar pada tahun 1987-1990.
Rangkaian acara penyambutan itu dibalut dengan hangatnya teh yang bercumbu dengan gula jawa berdansa dalam nuansa canda yang begitu menggelitikkan candu. Makan siang bersama adalah dahaga afdol yang melengkapi harmoninya keluarga baru itu. Warga Pedukuhan Karang sebagai orang tua dan Relawan Grigak sebagai anak-anak hilang yang kembali pulang.
Sekitar pukul 12.30, semua anggota Relawan Grigak dan calon pengurus baru sudah siap terjun ke Pantai Grigak. Sebuah lokasi yang menjadi saksi hidup perjuangan kemanusiaan Romo Mangun bersama Warga Pedukuhan Karang dalam mengangkut air dari sebuah mata air di dasar tebing-tebing yang berbaris dengan senyum magis di Pantai Grigak.
Adalah mancakrida yang akan menjadi bukti nyata seleksi pengurus baru Komunitas Relawan Grigak. Sebuah cara menjaring pengurus baru dengan bergulat bersama dalam aneka permainan di beberapa pos perekrutan. Teknik ini merupakan gabungan desain psikologi dan ekologi. Sebagai wujud pembentukan perilaku kepemimpinan dan manajemen di alam terbuka.
Empat kelompok
Semua calon pengurus dibagi ke dalam empat kelompok. Ada kelompok Karang Wetan, Karang Tengah, Telaga Mati, Tebu. Pembagian nama kelompok ini berdasarkan nama setiap RT di Pedukuhan Karang.
Sementara itu, ada empat pos perekrutan yang mana masing-masing pos telah menyediakan permainan dan wawancara terselubung untuk setiap kelompok calon pengurus baru komunitas.
Semua calon pengurus dikumpulkan di sebuah Gardu Pandang yang tepat berada di depan bentangan Samudera Indonesia. Kelompok-kelompok kecil itu akan dilepas satu per satu berdasarkan urutan.
Sementara itu, anggota Relawan Grigak 2019 sudah bersiap di pos masing-masing. Mancakrida mulai melanda. Calon pengurus segera didera, tapi bukan membuat cedera, apalagi menghadirkan lara.
Satu per satu kelompok calon pengurus dilepas ke setiap pos. Kelompok Karang Wetan, Karang Tengah, Telaga Mati, dan Tebu.
Pos pertama adalah pos Romo Mangun dan sejarah Komunitas Relawan Grigak. Pos ini berada di Pondok Baru RomoRomongun) dan kisah kasih Relawan Grigak sejak tahun 2018 lalu.
Proses seleksi ini dibungkus dalam sebuah permainan yang disebuah “balik baliho.”
Perjalanan setiap kelompok akan dilanjutkan ke pos kedua yang disebut Pos Kepemimpinan. Pos ini terletak di Kolam Relawan Grigak.
Di pos ini, setiap kelompok akan ditantang untuk menampilkan kerja tim dalam menjamin keselamatan salah satu teman yang dijatuhkan ke dalam kolam renang.
Secara integral pengetahuan, keterampilan, sikap kepemimpinan mereka diakumulasikan melalui jawaban dan pengalaman mereka atas pertanyaan seputar dinamika komunitas.
Tidak berhenti di pos kepemimpinan, setiap kelompok akan menuruni anak tangga terakhir pada 260 Tangga Grigak, melewati bekas pondok Romo Mangun, dan bertemu lorong inspirasi Romo Mangun.
Di sanalah pos ketiga yang disebut Pos Aspirasi. Sebagai tempat inspirasi Romo Mangun, pos ini akan memberikan ilustrasi tentang puncak refleksi Romo Mangun dalam memutuskan untuk membela masyarakat kecil karena merekalah yang berjuang demi kemerdekaan Negeri Republik Indonesia.
Posisi Relawan Grigak di Panitia Eco-Camp Mangun Karsa dan Warga Pedukuhan Karang menjadi sebuah dilematis kesukarelaan dan kebijakan dalam mendengarkan aspirasi.
Menjadi aspirator dari kedua pihak tersebut adalah kecerdasan menerapkan fungsi hakiki bahasa, yaitu bahasa adalah pembangun kerja sama dan pewujud menjadi sesama.
Sekali lagi proses seleksi di pos ini dirangkai dalam permainan merangkai kalimat berdasarkan kata yang pertama kali terbesit tentang Grigak.
Pos keempat adalah pos terakhir dari empat pos seleksi pengurus baru Komunitas Relawan Grigak. Pos ini disebut Pos Toleransi. Pos ini beada di bekas bak penampung air dari mata air Grigak. Dahulu, Romo Mangun membeli pompa dragon dari hasil tulisan-tulisan artikel dan buku-buku untuk dipasang di bak penampung air itu.
Dragon itu membantu warga mengangkat air bersih, sehingga tidak perlu menyusiri tepi-tepi tebing atau melompati karang-karang tajam untuk sampai ke sumber mata air.
Di pos ini, toleransi adalah hal penting yang utamakan. Proses seleksi ini dikemas dalam permainan yang disebut transfer kata. Kemampuan untuk mendengarkan dan menyampaikan adalah tuntutan absolut. Di balik permainan yang menerapkan pesan berantai itu, toleransi latar belakang sosial-budaya dan intervensi alam melalui deruan suara ombak menabrak karang adalah distorsi mutlak kemajemukan Relawan Grigak.
Kerelaan untuk mengenal, berinteraksi, toleransi, dan bersatu dalam misi adalah sederet pesan moral dan komitmen yang diungkapkan dan ditunjukkan setiap kelompok dalam menutup rangkaian pos seleksi pengurus baru Komunitas Relawan Grigak 2020.
Menjadi sedulur
Kendatipun wajah perekrutan itu berwujud prosedural, namun tetap menjaga keutuhan semua anggota komunitas sebagai sedulur.
Sebagai wujud persahabatan itu, Mbah Sukirno sebagai sahabat dan pelayan sejati Romo Mangun pada tahun 1987-1999 di Pantai Grigak adalah potret kesetiakawanan di kala anggota Relawan Grigak sedang menyebarkan bara semangat pengabdian kepada negeri dan sesama melalui obor semangat Romo Mangun.
Sejak pukul 15.00, Mbah Sukirno telah menunggu semua anggota Relawan Grigak untuk berkumpul di daerah kemah Pantai Grigak. Mbah Sukirno akan menceritakan kisah kasih Romo Mangun, Sumber Mata Air Grigak, dan Warga Pedukuhan Karang.
Pada sesi ini, unsur toleransi setiap insan di atas tanah kemah itu benar-benar digelarkan. Mbah Sukirno akan bercerita menggunakan Bahasa Jawa Kromo Injil, sedangkan 98% anggota komunitas Relawan Grigak adalah mahasiswa dari berbagai pulau di luar Pulau Jawa.
Untunglah ada Petrus Setiawan (Mahasiswa Universitas Sanata Dharma) yang bersedia menjadi penerjemah bagi 98% anggota Relawan Grigak dan Mbah Sukirno.
Di awal kisahnya, Mbah Sukirno memperkenalkan diri dengan menganalogikan Romo Mangun sebagai seorang sosok ayah dan Mbah Sukirno sebagai seorang anak atau sahabat. Sebagaimana lirik lagu dalam sebuah lagu anak-anak yang berbunyi …. pada hari minggu kuturut ayah ke kota…., Mbah Sukirno dan Mbah Karto (almarhum) pernah diajak Romo Mangun untuk pergi ke Yogyakarta.
“Saya dan Mbah Karto (almarhum) pernah diajak Romo Mangun ke Kali Code dan Sleman untuk membeli bibit asam kranji, akasia, dan angsono untuk ditanam di Grigak.” (Mbah Sukirno)
Mbah Sukirno memang pelayan yang tulus. Melayani Romo Mangun tanpa menuntut imbalan. Bahkan menyisihkan waktunya demi investasi ekologi di Wilayah Grigak.
“Saya selalu mencari pakan sambil mencari lahan untuk menanam, ketika saya menemukan lahan untuk ditanami pohon, saya segera memberitahukan kepada Romo Mangun dan kami menanam bersama.” (Mbah Sukirno)
Mbah Sukirno juga mengisahkan tentang pola makan dan minum Romo Mangun. Bahkan Romo Mangun hanya satu sampai dua kali makan nasi dalam seminggu.
“Romo Mangun selalu makan kentang atau singkong rebus. Jarang sekali Romo makan nasi. Paling cuma satu sampai dua kali dalam seminggu. Minumnya air putih atau rebusan air sirih.” (Mbah Sukirno)
Romo Mangun mau menebus dosa kepada rakyat kecil. Membantu Warga Pedukuhan Karang melalui tanaman liar untuk pakan ternak warga adalah salah satu contoh sederhana.
“Sejak pertama kali datang ke Grigak setelah adik saya (Wasmi) menceritakan kisah susah air di Pedukuhan Karang, Romo Mangun memutuskan untuk membeli tanah sebanyak sepuluh hektar untuk ditanami rumput liar (kalajana) sehingga warga bisa memanfaatkan sebagai pakan ternak” (Mbah Sukirno)
Membekas dalam
Perjuangan Romo Mangun itu tak sengaja membekas di hati setiap warga Pedukuhan Karang. Maka bukti persahabatan sejati Romo Mangun dengan warga Pedukuhan Karang itu dilukiskan sebagai kelipatan berkat.
“Makanya sebagai balas budi warga Pedukuhan Karang membantu pembangunan gubuk Romo Mangun. Gubuk dibangun dengan menggunakan alang-alang dan bambu. Romo Mangun tidak mau merepotkan warga saya. Setelah gubuk itu jadi, warga saya bersedia membantu Romo Mangun untuk membuat jembatan menuju sumber mata air Grigak dan membuat bak penampung air dan mengangkut air menggunakan pompa dragon.” (Mbah Sukirno)
Di akhir kisah kasih lirih itu, Mbah Sukirno menitipkan sebuah pesan kepada semua anggota Relawan Grigak. Mbah Sukirno berharap agar bara semangat Romo Mangun senantiasa dijaga agar tetap bernyala, bahkan berkobar-kobar.
“Romo Mangun pernah mengatakan bahwa ketika memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, Romo Mangun dibantu rakyat. Jadi mengabdi kepada rakyat adalah cara menebus dosa. Silahkan melakukan kegiatan di sini (Grigak). Saya akan membantu apapun selama itu baik. Silahkan menjaga semangat Romo Mangun walaupun di hutan dan jalannya rusak.
Silahkan teman-teman berjuang menerapkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan Romo Mangun. Karena masyarakat zaman dahulu tidak peduli dengan uang.
Tetapi sekarang banyak yang selalu bekerja demi mendapatkan uang. Sebaiknya teman-teman bekerja sama dengan masyarakat, tetapi jangan sampai teman-teman dimanfaatkan.” (Mbah Sukirno)
Begitulah sebuah kasih yang dikisahkan Mbah Sukirno di bawah bunyi hujan yang lirih di sore itu. Bila ditarik kembali alur kisah kasih hujan lirih itu, kita akan menemukan sebuah pemandangan indah di hadapan api unggun dan sebuah lingkaran yang berhasil mengukir bara semangat Romo Mangun.
Guyuran hujan rintik dengan lirihnya tak mampu memadamkan bara semangat beberapa anggota Relawan Grigak yang melingkari api unggun itu dengan begitu anggun.
“Syahdu merajut bara semangat Romo Mangun, lirih mengobarkan bara semangat Romo Mangun.”
Begitulah semarak puncak simbolis regenerasi kepengurusan Komunitas Relawan Grigak. Grigak selalu menyediakan ruang dan waktu untuk menemukan syahdu dan lirihnya bara semangat Romo Mangun dikobarkan.
Smoke bomb
Rangkaian mancakrida itu di akhir petang dengan menceburkan matahari ke peraduannya. Namun semarak pengobaran bara semangat Romo Mangun dihembuskan melalui transfer tepung warna di antara anggota Relawan Grigak, kemudian diriuhkannya lirih hujan petang dengan simbol asap smoke bomb yang menandakan pengobaran semangat Romo Mangun.
Semarak mengobarkan semangat Romo Mangun itu belum selesai. Ketika malam mendera, makan malam bersama adalah pilihan yang tepat untuk menyemarakkan kebersamaan yang terajut.
Bukan tanpa alasan. Makan malam bersama dengan berdindingkan canda beratapkan candu tawa. Bahkan syahdunya makan malam itu akan mengalahkan romansa pasangan yang makan malam di restoran mewah bertemakan romantic candle light.
Malam yang syahdu itu harus diakhiri. Terkadang pengendapan adalah cara merefleksikan kebaikan hari itu. Cara hikmat berterima kasih kepada seluruh pengalaman sepanjang hari itu.
Refleksi Ignatian
Refleksi versi Ignatian adalah tradisi yang tak akan lapuk di hujan dan tak lekang di panas. Oleh karena abadinya, maka refleksi membutuhkan kontekstualisasi. Menampilkan tayangan Romo Mangun dan kegiatan Komunitas Relawan
Grigak adalah konstruksi konteks refleksi. Penayangan ini adalah bentuk akumulasi dari kegiatan mancakrida yang akan diintegrasikan dalam hikmatnya refleksi.
Refleksi Ignatian ini dimulai dengan berbagi kisah yang paling berkesan sepanjang hari di dalam kelompok-kelompok kecil. Kesan-kesan yang dibagikan diakumulasikan menjadi sebuah kesimpulan kelompok.
Setiap kelompok akan mendapatkan kesempatkan yang sama untuk mengisahkan refleksi kelompok masing-masing dalam pleno.
Contohnya adalah refleksi Kelompok Tebu:
“Anggota Komunitas Relawan Grigak ini sangat beragam daerah asal dan universitas. Tetapi walaupun beragam dan berbeda latar belakang ternyata semangat dan kekompakan yang dibangun sangat baik. Dari komunitas ini, akhirnya kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga untuk pribadi masing-masing.” (Enjeli, mahasiswa Akademi Manajeman Administrasi YPK)
Minggu, 9 Februari 2020
Ulang tahun adalah sebuah hari khusus untuk merefleksikan alasan mengapa Anda dilahirkan. Demikianlah sebuah refleksi tentang hari ulang tahun yang pernah diungkapkan oleh Santo Corma Hulk.
Dan hari ini (9 Februari 2020) adalah sebuah hari khusus untuk bersyukur dan berefleksi atas eksistensi Komunitas Relawan Grigak selama dua tahun. Syukur dan refleksi itu didaraskan dalam perayaan ekaristi.
Perayaan Ekaristi ini pun mengintegrasikan pengukuhan pengurus baru komunitas Relawan Grigak tahun 2020 dan Perayaan ulang tahun kedua Komunitas Relawan Grigak.
Tepat pukul 12.00, Penanggungjawab Komunitas (Romo P. Wiryono SJ) dan Pendamping Komunitas (Emanuel Bele Bau, S.Pd) sudah berada bersama semua anggota komunitas Relawan Grigak di Pondok Baru Romo Mangun.
Sungguh Perayaan Ekaristi yang Semarak. Perayaan Ekaristi di alam terbuka memang selalu memberikan kesan tersendiri. Apalagi perayaan syukur atas ulang tahun komunitas dan pengukuhan dan perutusan bagi pengurus komunitas yang baru.
Di tubuh perayaan ekaristi itu, Rm. P. Wiryono, SJ. mengungkapkan bahwa semangat darma bakti Romo Mangun senantiasa menjadi inspirasi bagi semua anggota komunitas untuk mewujudkan cita-cita Romo Mangun, yakni menebus dosa kepada masyarakat kecil.
“Semangat Romo Mangun menjadi contoh bagi Relawan Grigak dalam mewujudkan cita-cita bersama warga Pedukuhan Karang. Semoga semangat perjuangan kemanusiaan Romo Mangun di Pantai Grigak ini selalu menjadi semangat bagi setiap anggota Relawan Grigak untuk belajar, berbagi, dan bersaudara.” (Romo P. Wiryono SJ)
Dalam homilinya, Romo P. Wiryono SJ juga menegaskan bahwa Romo Mangun adalah salah tokoh nasional yang mengajarkan kepada seluruh rakyat di Negeri Republik Indonesia untuk mengetahui cara mencintai bangsanya sendiri.
“Romo Mangun adalah tokoh yang mengajari kita untuk mencintai bangsa kita. (Romo P. Wiryono SJ.)
Di akhir homilinya, Romo P. Wiryono SJ mengharapkan bahwa semoga setiap orang dapat menjadi garam dan terang dunia di tengah masyarakat kecil. Menjadi garam yang bukan tawar dan menjadi terang yang memberi cahaya perbuatan baik di depan orang banyak.
“Semoga kita dapat diberikan kelancaran untuk bekerja sama dengan warga Pedukuhan Karang untuk mewujudkan cita-cita Romo Mangun. Sebagaimana pesan injil yang mengatakan bahwa kita berusaha menjadi garang dan terang dunia di tengah masyarakat kecil.” (Romo P. Wiryono,SJ.)
Sorak lagu setiap ritus dalam perayaan syukur itu sungguh menyemarakkan ucapan syukur di alam Grigak itu. Deru angin kencang menghuyung pondok baru Romo Mangun itu. Seisi pondok itu dihantam angin kencang. Namun Perayaan Misha Syukur tak dapat terhentikan. Hingga perutusan pada akhir ritus penutup perayaan ekaristi itu, angin kencang itu belum mengurangi kedasyatannya. Sungguh alam sedang menyapa para pembara obor semangat Romo Mangun.
Tibalah waktunya untuk pengukuhan pengurus baru dan perayaan ulang tahun Komunitas Relawan Grigak. Pengukuhan diawali dengan sambutan dari ketua lama tahun 2019 dan dilanjutkan dengan pidato kemenangan dari ketua baru Komunitas Relawan Grigak tahun 2020. Di tengah rangkaian pengukuhan itu, sekali lagi lirih hujan mengguyur pondok baru Romo Mangun itu. Sungguh alam sedang menyapa kita. Sebagaimana kata ketua baru komunitas, Arni (Mahasiswa Universitas Sanata Dharma) … “rasakanlah teman-teman, alam sedang sedang menyapa kita….”
Akan tetapi, ada pemandangan yang tak kalah lirih di dalam pondok itu, ada Minto Sinaga yang berusaha memberikan jaketnya untuk Romo P. Wiryono SJ, beberapa anggota Relawan membuat penghalang arus hujan dengan menggunakan tikar untuk menutup jendela-jendela. Bahkan mereka rela terguyur hujan siang itu.
Dan tak kalah fenomenal adalah perjuangan Santo Corma Hulk melindungi tumpeng (simbol syukur ulang tahun kedua Komunitas Relawan Grigak)
Bak tuan rumah yang hanya mau menyapa tamu, demikianlah angin kencang dan hujan lirih itu lambat laun berhenti. Tibalah waktunya pembacaan nama-nama pengurus baru Komunitas Relawan Grigak dan pengukuhan oleh Romo P. Wiryono SJ kepada para pengurus baru.
Riuh tepukan tangan, tebaran senyuman, dan bunyi tawa yang meledak bahkan telah melampaui gemuruh angin dan lirih hujan beberapa menit yang lalu. Begitulah prosesi serah-terima kepengurusan yang terasa betapa renyahnya.
Potong tumpeng adalah agenda penutup seluruh rangkaian acara dwihari itu. Penanggungjawab Komunitas Romo P. Wiryono SJ dan Pendamping Komunitas Emanuel Bele Bau S.Pd adalah pemotong pertama tumpeng ulang tahun komunitas itu.
Potongan-potongan tumpeng itu dibagikan pertama kepada ketua Komunitas Relawan Grigak 2019, kemudian dibagikan lagi kepada ketua Komunitas Relawan Grigak 2020. Sebagai wujud perutusan, demikian cara komunitas ini membagikan obor semangat Romo Mangun.
Di sesi pembagian potong-potongan tumpeng itu, ada tangis haru terukir di bawah terik matahari hari yang mulai menyengati lagi bumi.
Jansen (mantan ketua Komunitas Relawan Grigak 2019) tak kuat membendung air mata di telaganya. Gejolak haru menggaris linangan di pipinya yang segera disekahnya.
Di sudut lain pondok itu, Jela (mantan Sekretaris Komunitas Relawan Grigak 2019) dan Maria (Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”), Jela, dan Arni pun tak kuat menahan air matanya.
Sungguh sebuah potret perutusan yang lirih. Selirih hujan siang itu.
Mengabdi Negeri, Mengabdi Sesama ?