Tahun 1940 ketika Romo Soegija diangkat menjadi uskup Indonesia pribumi pertama, dunia tengah dihantam badai besar bernama Perang Dunia II. Kala itu, Indonesia asih ada dalam genggaman erat Belanda. Namun, sejatinya “Indonesia” juga sudah mulai diincar Jepang. Apalagi saat itu, Dai Nippon juga itu lagi gencar-gencarnya mempropagandakan semboyan politik “3A” ke wilayah Asia Pasifik –dan tak terkecuali termasuk “Indonesia”– yang sejatinya belum lahir.
Propaganda “3A”
Jepang punya maksud dan tujuan politik dengan gencarnya melakukan propaganda bersemboyankan “3A”. Tujuannya tak lain agar “Indonesia” bersedia membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) melawan Amerika Serikat. Karena itu, makin bergeloralah semboyan 3A yang berbunyi “Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia”.
Nah, mewujudkan ambisi politiknya menguasai Asia Pasifik dan “Indonesia”, Jepang mau tak mau harus merebut hati para pemimpin Indonesia. Guna keperluan itu, tentara Dai Nippon lalu mendarat di Pantai Tarakan di Kalimantan Timur dan selanjutnya menyeberang ke Jawa. Terhadap para pemimpin Indonesia, Jepang sengaja menyebut diri sebagai “Saudara Tua”. Kata mereka waktu itu, “Saudara Tua” ini akan membantu membebaskan “Indonesia” dari tangan kolonialisme Belanda.
Dengan sengaja, saya menaruh kata “Indonesia” di antara tanda kutip, karena senyatanya nation dan negara bernama Indonesia waktu itu belum eksis atau lahir.
Harus anak Bumi Putera
Nah, menjawab pertanyaan di atas, Romo Murti Hadi SJ dari Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta memberikan wawasannya. Dalam sebuah edaran berita internal, romo kelahiran Panca Arga di Magelang ini menuturkan, kata “pribumi” yang merekat erat pada sosok Mgr. Albertus Soegijapranata SJ menjadi sangat penting pada era “Indonesia” saat bumi Nusantara dijajah Jepang.
Gereja mencemaskan, kalau bibit-bibit kristianitas di kalangan masyarakat pribumi di Jawa waktu itu dalam sekejap akan digilas habis oleh tentara Dai Nippon. Karena itu, Vatikan harus mencari sosok uskup pribumi yang mampu memimpin Gereja lokal dari ancaman pemberangusan Jepang. “Meski masih banyak imam-imam misionaris Belanda yang waktu itu ada di Jawa, Tahta Suci akhirnya menetapkan Romo Soegija menjadi Uskup,” tulis Romo Murti Hadi SJ.
Menantang samurai Jepang
Perjalanan sejarah waktu itu memang bisa ditebak arahnya. Tantangan pertama Uskup Mgr. Soegijapranata SJ –demikian tulis Romo Murti Hadi SJ—adalah “menghadapi” rezim kolonialis baru yakni Jepang yang mulai bercokol di Jawa sejak tahun 1942. Ketika semua aset nasional berbau Belanda hendak disita tentara Dai Nippon, Mgr. Soegijapranata maju ke depan untuk melawan secara damai. Bahkan dalam sebuah episod menarik dikisahkan bagaimana Mgr. Soegijapranata merelakan kepalanya dipenggal samurai Jepang demi mempertahankan kompleks bangunan Gereja Randusari Semarang yang hendak disita menjadi markas tentara Jepang.
Ketika Jepang akhirnya mengaku kalah dan tunduk kepada Tentara Sekutu usai pemboman mematikan di Hiroshima dan Nagasaki, Mgr. Soegija kembali memainkan perannya mendukung pemerintahan baru Indonesia di bawah bayang-bayang ancaman agresi militer Belanda. Merasa solider dan senasib dengan bangsa ini, Mgr. Soegijapranata dengan berani memindahkan “pusat kekuasaan” Vikariat Apostolik Semarang ke Yogyakarta, seiring dengan keputusan pemerintah Indonesia waktu itu yang telah memindahkan pusat kekuasaan dari Jakarta ke Yogyakarta.
“Selama terjadi agresi militer Belanda pada Clash I dan II, Mgr. Soegijapranata ikut berdiplomasi menyuarakan kemendesakan kedaulatan Indonesia yang waktu itu masih digenggam erat Belanda sampai akhirnya digelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949,” tulis Romo Murti Hadi SJ.
“Untuk keperluan segenting itu, Mgr. Soegijapranata SJ bahkan mendesak Tahta Suci segera mengirim seorang duta ke Indonesia sebagai bentuk pengakuan Gereja Internasional akan kedaulatan Indonesia. Gereja katolik termasuk dalam deretan bangsa-bangsa yang pertama kali mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia ini, bahkan sebelum Belanda menyerahkan kekuasaan sepenuhnya pada Indonesia pada tahun 1949,” tulis Romo Murti Hadi SJ. (Bersambung)
Photo credit: Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta
Artikel terkait: