“AYO jalan lagi, bentar lagi kok.”
“Semangat.”
“Bisalah, kita istirahat bentar.”
Untaian ragam percakapan diatas merupakan common words tersering yang selalu terucap selama melakukan perjalanan peregrinasi.
Empat tahun sudah tradisi ini saya jalani. Ragam dinamika, ragam kawan, dan ragam suasana selalu menemani menuju satu tujuan peziarahan.
Peregrinasi atau lebih dikenal dalam istilah Inggrisnya pilgrim merupakan kegiatan berjalan kaki dalam rangka berziarah menuju suatu tempat.
Tak main-main, tempatnya berada nun jauh di sana dengan beragam variasi jaraknya. Tradisi ini biasa dianut oleh para komunitas religius seperti seminari.
Medio Oktober setiap tahunnya, kami para seminaris Seminari Mertoyudan juga melakukan tradisi ini. Perjalanan peziarahan ditempuh menuju Gua Maria Sendangsono dari seminari sejauh 21 km.
Opsi yang wajib ditempuh adalah berjalan kaki menuju Sendangsono, sebaliknya merupakan opsi bebas apakah ingin mengulangi perjalanan kaki lagi menuju seminari atau tidak.
Kebetulan, saya telah mengalami dua kali perjalanan pulang-pergi dengan berjalan kaki.
Serius, rasanya pegal dan sakit sekali dalam berjalan. Apalagi kalau pulang dengan jalan kaki lagi, kami itu memulainya dini hari dan sampai di seminari sekitar lima jam-an tentu rasa ngantuk dan seram ikut menemani.
Namun, saya amat menikmati itu bersama kawan saya dan dalam rangka berdoa. Sungguh nikmat-nikmat ‘gimana gitu rasanya’.
Peregrinasi selalu saya tempuh secara berkawan. Ya, berkawan dalam arti saya tidak pernah menempuh perjalanan peregrinasi sendirian. Paling sedikit ialah satu kawan untuk saling menemani menikmati perjalanan.
Saya tidak mau meninggalkan kawan saya, begitu pun sebaliknya. Saling mendukung dan berbahagia bersama lepasnya walau tak mudah.
Seketika mengingatkan saya ujaran untuk.“Menjadi kawan bagi-Nya”yang tahun ini diangkat menjadi tema Natal oleh PGI dan KWI .
Para kawan Gereja
Pengangkatan tema tersebut oleh PGI-KWI merupakan pengingat bagi kita semua di akhir tahun ini. Mengingatkan kita akan apa saja yang telah kita lakukan dalam menjalin perkawanan medio tahun ini.
Apakah sudah sejalan dengan sasaran perkawanan Gereja, yang mana kita termasuk bagian di dalamnya? Siapa saja mereka itu?
Menurut saya, Gereja memiliki tiga kawan utama. Kawan-kawan itu ialah KLMTD, kaum anonim Gereja, dan masyarakat lain diluar Gereja.
Pertama, KLMTD.
Kaum lemah, miskin, tersingkir, dan difabel merupakan kawan paling karib dan lama Gereja. Di Gereja Universal, kawan ini selalu berusaha untuk dirangkul.
Kutipan bagus dilayangkan Romo Jon Sobrino SJ mengenai kaum KLMTD yaitu bahwa jika Gereja saja ditindas atau dianiaya apalagi kaum miskin.
Gereja merupakan penyingkapan paling nyata tentang kebenaran mengenai kaum miskin. Kebenaran mengenai kaum miskin memang telah diketahui secara teoritis, namun oleh kehadiran Gereja menjadikan kebenaran tersebut sebagai suatu yang “lebih nyata”dan ”lebih benar” karena kebenaran itu disampaikan oleh sumber yang dapat dipercaya, yaitu Gereja yang dianiaya.
Kawan inilah yang sejatinya merupakan kawan utama kita. Kawan ini selalu berusaha dirangkul oleh Gereja dimanapun dan kapanpun. Gereja tidak rela melepas pelukannya sedetik pun dari mereka ini, Gereja amat mencintai kawannya satu ini.
Kedua, kaum anonim Gereja.
Mungkin kita masih asing dengan ujaran ini. Keterasingan kita akan ujaran ini menjadi pertanyaan sebenarnya bagi kita karena artinya kita belum mau berkawan dengan mereka, meskipun kita merupakan bagian dari Gereja sendiri.
Makna anonim Gereja diungkapkan oleh Romo M. Joko Lelono berikut ini.
Menurutnya, anonim Gereja adalah orang yang ke Gereja hanya pada medio Natal dan Paskah, bertahun-tahun tidak mengaku dosa, bertahun-tahun terpepet pernikahan tidak sah, bertahun-tahun tidak pergi ke gereja, atau hanya dibaptis tanpa menjalankan ajaran Katolik.
Laiknya Yesus mencari satu dombaNya yang hilang hingga ketemu, sekiranya itulah sikap Gereja kepada mereka ini.
Gereja terus menjadi kawan mereka selama-lamanya bahkan rela “mengadakan pesta” baginya laiknya si bungsu yang kembali kepada Bapa saking berkawan dan berharganya mereka di mata Gereja.
Ketiga, masyarakat lain d iluar Gereja.
Yang dimaksud dengan mereka adalah umat beragama non-Katolik. Kita hidup di Indonesia dengan realitas kemajemukannya yang begitu ragam. Gereja tidak tinggal diam atau bersikap acuh kepada kawannya satu ini.
Ia menemani dan berkawan dengan mereka secara erat dari hari ke hari. Artinya, Gereja tidak meninggalkannya dan justru semakin berkawan rekat dengan mereka.
Lantas pertanyaan terpentingnya adalah apakah kita sebagai bagian Gereja sudah mengenali dan berkawan dengan mereka sepanjang tahun ini?
Jika belum, saya rasa PGI-KWI tepat untuk mengangkat tema di atas pada Natal tahun ini.
Setelah mengetahui realitas perkawanan Gereja, bagaimana cara kita sebagai Gereja berkawan dengan mereka?