Home BERITA Sosok Imam Masa Depan, Refleksi Model Pendidikan Seminari St. Laurentius Ketapang

Sosok Imam Masa Depan, Refleksi Model Pendidikan Seminari St. Laurentius Ketapang

0
Seminari Menengah St. Laurentius Keuskupan Kepatang. (Mathias Hariyadi)

MERASA diri terpanggil dan mencoba hidup dalam komunitas Seminari adalah pilihan yang berani bagi  kaum muda. Secara sadar, ia telah memilih jalan hidupnya untuk disemai dan tumbuh dalam suatu persekutuan calon imam pada usia remaja.

Hal ini bukan sekedar wacana pribadi mengenai suatu panggilan atau ajang ‘nekat-nekatan’ untuk menjadi seorang calon imam, tetapi sungguh-sungguh cara yang berani untuk menjawab ajakan Kristus untuk mengikuti Dia. Ajakan-Nya untuk menggembalakan domba-domba-Nya sebagaimana Dia tanyakan kepada Santo Petrus sebanyak tiga kali.

Menyemai diri di seminari juga merupakan cara tepat untuk merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati. Sering kali dunia orang muda yang gilang gemilang, hiruk pikuk, dan penuh dengan semangat membara menjadikan pintu hati setiap pemuda terkunci erat dari suara Tuhan.

Rasa meng-aku-kan diri masih kentara, sehingga egoisme masih berjaya di atas dasar semua motivasi dunia. Namun bagi mereka yang menyemai dirinya di seminari ini adalah kesempatan untuk bertumbuh di dalam rohani.

Petugas tengah melakukan penyemprotan membasmi kepinding di dormitorium tempat tidur para seminaris di Seminari Menengah Santo Laurentius Ketapang, Kalbar. (Mathias Hariyadi)

Mengolah diri

Mata hati dan telinga yang sempat tertutup, sedikit demi sedikit dibukakan melalui berbagai macam cara pengolahan batin yang menarik untuk diikuti. Sehingga, latar belakang seorang seminaris –khususnya di Seminari St. Laurensius Ketapang– ini begitu beraneka ragam dengan motivasi panggilan yang juga bermacam-macam.

Meskipun demikian, motivasi-motivasi tersebut seiring waktu dimurnikan melalui proses yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Di Seminari St. Laurensius Ketapang, ada berbagai macam pembinaan untuk mengembangkan diri sebagai insan seminaris. Pembinaan itu terdiri dari bidang kerohanian (sanctitas), pengetahuan (scientia), kesehatan (sanitas) dan kebersamaan (societas).

Berbagi bidang kompetensi tersebut tentu saja mengarahkan seminaris pada panggilan imamat yang diintegrasikan dengan kontekstual di Kalimantan Barat. Hal tersebut sangat relevan dengan visi dari Seminari Menengah St. Laurensius yang ada di Kota Kayong (baca: Ketapang), Kalbar ini.

Penuh kasih

Rektor Seminari St. Laurensius Ketapang, Romo Andreas Setyo Budi Sambodo Pr –imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang– senantiasa mendidik para seminaris dengan sabar dengan cara penuh kasih. Kegiatan-kegiatan harian seperti ibadat pagi, misa harian, opera (kerja bersama membersihkan lingkungan asrama), dan pelajaran-pelajaran yang ada di seminari senantiasa menghidupkan para seminaris dalam menghayati spiritualitas imamat dalam lingkup yang paling sederhana.

Dan hal yang tak kalah penting adalah pengendapan yang dituangkan dalam refleksi harian yang tidak hanya mencatat sejarah pribadi, tetapi juga gambaran perjumpaan bersama Kristus dalam aktivitas sehari-hari.

Penghayatan gambaran imamat masa kini mulai dikreasikan dari hari ke hari sesuai perkembangan zaman. Apalagi di masa pandemi covid-19, para seminaris diajak untuk semakin bersabar dalam situasi yang tak menentu.

Proses belajar-mengajar di sekolah secara daring agaknya ikut menggelitik seminaris untuk merasa jenuh dan bosan oleh begitu banyaknya tugas-tugas yang diberikan.

Mengunjungi Seminari Menengah Santo Laurentius di Payakumang, Ketapang, ditemani Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi. (Mathias Hariyadi)

Namun lambat laun, segala hal mulai dibiasakan, fasilitas mulai dilengkapi secara perlahan untuk mempermudah proses belajar mengajar secara daring namun dengan pengawasan yang teratur.

Seminaris di zaman modern, mulai menggeser paradigma seminaris yang kaku menjadi seminaris yang kreatif dan inovatif sesuai dengan semangat Seminari Menenngah Santo Laurensius di tahun 2020 ini: cerdas, kreatif, dan visioner.

Harapan para Seminaris tidak melulu akan terpilih dalam panggilannya, tetapi menyerahkan semua penyelenggaraan Tuhan dalam proses penyemaian. Tak ada satu pun tanah gersang yang digambarkan dalam hati setiap seminaris, semuanya adalah tanah yang subur.

Panggilan itu rahmat

Seperti yang senantiasa diungkapkan oleh Rektor Seminari bahwa panggilan adalah sebuah rahmat. Seandainya tidak menjadi imam pun, para alumni Seminari Menengah St. Laurensius di Payakumang Kerapang ini  etap mampu membawa jiwa seminarisnya sebagai garam dan terang dunia di tengah-tengah Gereja.

Ia bisa menjadi seorang katekis, prodiakon, pelayan umat, lektor atau pun ketua lingkungan di mana ia berada sebagai pribadi yang menghayati imamat umum dalam pembabtisannya.

Namun harapan tertinggi dari Seminari St. Laurensius adalah agar panggilan sebagai seorang imam tumbuh subur sehingga Gereja tetap kokoh meski harus berkutat dengan zaman.

Bagai berkaca di atas air yang jernih dan mengalir, penulis sebagai seorang seminaris memetik buah-buah reflektif selama mengikuti pembelajaran di Seminari St. Laurensius.

Seminari Menengah Santo Laurentius Ketapang, Kalbar.

Pertama, seminari menjadi tempat yang sangat indah dan menyenangkan untuk benih panggilan di tengah-tengah zaman ini. Mungkin banyak sekali tantangan dan godaan di luar sana yang begitu menggiurkan, tetapi hanya sedikit saja yang terketuk untuk menyerahkan dirinya pada penyelenggaraan ilahi.

Kedua, latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda menjadikan seminari sebagai ladang yang subur sehingga segalanya saling dilengkapi dan melengkapi. Setiap seminaris menjadi angelus dan teman “Emaus”, adik tingkat mendapatkan bimbingan sementara kakak tingkat menjadi teladannya.

Ketiga, di seminari semua diajarkan untuk saling melayani. Sebagai citra imamat, setiap seminaris dipanggil untuk tugas sebagai imam, nabi, dan raja. Maka ia harus senantiasa menguduskan diri dalam berbagai kegiatan doa, ibadat serta ekaristi, menjadi saksi Kristus dalam segala pekerjaan dan saling melayani satu sama lain.

Meskipun tidak ada yang sempurna dalam prosesnya, namun kebanggaan terbesar menjadi seorang seminaris adalah berani menjadi yang terpanggil dari sekian ribu pemuda yang ada di Gereja-Nya.

Konsekuensinya, para Seminaris juga harus berani belajar untuk taat, sederhana dan murni untuk menjawab panggilan-Nya serta siap sedia apabila Kristus memilih mereka sebagai Imam Gereja-Nya suatu saat nanti.

Terakhir, harapan penulis adalah semoga semakin banyak para pemuda yang berani menjawab panggilan Tuhan dengan mantap demi kemuliaan-Nya yang paling besar.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version