PAGI-pagi, seorang teman mengirim pesan WA. Isinya bertanya, seperti apakah “spiritualitas” Bali, tapi yang bukan Hindu.
Ini sebuah pertanyaan yang sulit.
Memang saya relatif cukup lama tinggal di Bali dan beruntung berkesempatan bergaul dengan berbagai macam kalangan. Namun, saya bukan asli orang Bali.
Juga sebenarnya, saya tidak sepenuhnya berkompeten bisa menjawabnya.
Untunglah saya pernah juga mencoba mencari tahu soal itu, dan saya mencoba menggalinya dari berbagai kalangan yang saya temui di Bali.
Saya beruntung sempat berinteraksi mulai dari rakyat awam biasa, intelektual dan akademisi Hindu, sulinggih, maupun pejabat pemerintah.
Juga beruntung berkesempatan berinteraksi dengan mereka yang relatif cukup paham dengan budaya Bali.
Saya mencoba merangkumkan apa yang saya tangkap dari penjelasan mereka, ketika dulu saya pernah memiliki keingintahuan tentang hal yang sama.
Meskipun pembahasaannya berbeda-beda. Namun ternyata secara umum mereka itu (dari berbagai kalangan tersebut) memberi jawaban yang secara tertentu kurang lebih sama, kalau tidak bisa dibilang identik.
Maka menurut saya, hal itu relatif cukup mewakili apa yang sebenarnya ada.
Tak meributkan Tuhan
Secara umum, rata-rata mereka memberi penjelasan bahwa pertama-tama orang Bali tidak suka meributkan tentang Tuhan. Maupun segala konsep tentang Tuhan yang bagi agama-agama lain sangat seksi untuk jadi bahan perbincangan, perdebatan.
Juga, lebih menyedihkan lagi, diskusi tentang Tuhan itu malah lebih sering menjadi alasan untuk kemudiansaling bermusuhan. Bahkan saling bunuh.
Hormat bakti pada orangtua dan leluhur
Alih-alih ribut soal Tuhan, orang Bali lebih fokus untuk pertama-tama menghormati apa yang tampak, yang jelas ada, yang langsung berinteraksi dengan kita.
Yakni orangtua, bapak-ibu. Tentu saja, kelak dalam perkembangannya, orangtua juga diperluas menjadi kakek, nenek, leluhur.
Boleh dikata, penghormatan kepada orangtua menjadi dasar utama dari spiritualitas Bali, menjadi pusat dari kegiatan spiritual.
Sanggah-merajan, atau semacam “pura” kecil di setiap rumah itu tidak lain merupakan sarana untuk menghormati orangtua, leluhur.
Sanggah merupakan sarana untuk mengistanakan “roh” orangtua, leluhur yang telah meninggal.
Ngaben
Upacara ngaben-palebon bisa dikatakan sebagai kegiatan ritual yang paling istimewa dan paling menghabiskan biaya bagi setiap keluarga.
Ngaben merupakan salah satu wujud dari “pitra yadnya”, ungkapan bakti anak, cucu, keturunan terhadap orangtua mereka.
Dalam skala apa pun, ngaben terbilang upacara paling luar biasa yang diadakan oleh sebuah keluarga, jauh melampaui berbagai upacara lainnya. Misalnya perkawinan.
Memang ada berbagai “paket” tingkat “kemewahan, kecanggihan” yang bisa dipilih dalam melaksanakan suatu ngaben.
Mulai dari yang paling bawah “nistaning nista” sampai yang paling atas “utamaning utama”, tanpa mengurangi makna upacaranya, sesuai kemampuan yang bersangkutan.
Apa pun pilihan paket yang diambil, tetap saja ngaben tersebut merupakan upacara yang paling luar biasa bagi keluarga yang bersangkutan.
Ada juga paket ngaben massal atau bahkan ngaben gratis yang dibantu oleh berbagai pihak, namun tetap saja nilai upacara itu sangat istimewa.
Seiring dengan penghormatan kepada orangtua, juga dipraktikkan penghormatan kepada alam, baik kepada alam yang luas (makrokosmos), maupun yang kecil (mikrokosmos).
Maka, orang mewujudkannya dengan memberi penghormatan kepada berbagai unsur alam yang tampak di sekitar kita.
Orang menghormati sumber air, pepohonan, gunung, laut, sawah, binatang, berbagai alat yang membantu kehidupan kita.
Bahkan juga berbagai makhluk yang kita anggap rendah dan tidak kita lihat.
Semua itu mendukung keberadaan dan kehidupan kita dan layak dihormati.
Baru setelah itu penghormatan kepada berbagai hal yang tidak selalu tampak kasat mata kita, yang niskala. Barulah menyusul penghormatan kepada “yang tak terbayangkan”, “tan kena kinira kinaya apa” yang disebut “Sang Hyang Embang”.
Embang artinya kosong, suwung.
Sebutan Ida Sang Hyang Widhi Wasa relatif baru.
Secara dokumen tertulis, paling awal sebutan ini ditemukan di catatan misi di Tuka, ketika para misionaris Kristen mencoba menerjemahkan istilah Tuhan ke dalam bahasa Bali.
Boleh jadi konsep itu sudah ada sebelumnya.
Namun secara dokumen bukti tertulis yang paling awal tersimpan di catatan misi di Tuka itu.
Kelak ketika pemerintah “memerintahkan” orang-orang menginduk salah satu agama yang disediakan, orang Bali memilih menginduk ke Hindu dan menggunakan sebutan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Lantas bagaimana kalau mau merangkumkan spiritualitas Bali?
Sekali lagi saya tidak berkompeten menjawabnya.
Namun sejauh yang saya tangkap, spiritualitas Bali itu bisa dirangkumkan ke dalam tiga aspek ini:
- Aspek penghormatan ilahiah: “parahyangan”.
- Aspek penghormatan kemanusiaan: “pawongan”.
- Aspek penghormatan kepada alam: “palemahan”.
Ketiga aspek ini oleh orang Bali disebut “Tri Hita Karana”.
Dan menurut saya, mungkin itulah “spiritualitas” orang Bali.
Marcx 17/06/2021