SANTA Gianna Beretta lahir di Magenta, Milan, pada 4 Oktober 1922. Pada masa mudanya, ia telah mendapatkan karunia pendidikan iman Kristiani dan dari kedua orang tuanya. Karena itu, ia mengalami hidup sebagai karunia yang hebat dari Tuhan, mempunyai iman akan Tuhan yang kuat, dan keyakinan akan pentingnya serta ampuhnya kekuatan doa.
Ia bertunangan dengan Pietro Molla, dan merasa sangat bahagia sekali pada saat pertunangannya, karena itu ia bersyukur dan memuji Tuhan.
Mereka menikah di Basilika Santo Martin, Magenta pada 24 September 1955, dan ia adalah istri yang berbahagia.
Hidup yang seimbang
Ia melahirkan anaknya pertama yang bernama Pierluigi pada November 1956, lalu Mariolina pada Desember 1957, dan Laura pada Juli 1959. Ia sangat bahagia menjadi ibu dari tiga anaknya. Dengan kesederhanaan, ia menyeimbangkan perannya sebagai ibu, isteri, dokter, dan semangat untuk hidupnya.
Gianna mendengarkan keluhan para pasien dengan sabar dan ramah. Suatu hari seorang laki-laki berkeluh-kesah atas kelahiran anaknya yang cacat. Gianna memahami kesedihan hatinya, menenangkannya dan mendorongnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi menyelamatkan nyawa sang bayi.
Pada September 1961 pada saat akhir dari bulan kedua kehamilannya, ia merasakan penderitaan dan kesakitan yang misterius. Setelah diselidiki, penyebab kesakitan itu ialah adanya fibroma yang tumbuh rahimnya.
Sebelum operasi yang diperlukan, ia sadar akan risiko yang akan dibawa kehamilannya, ia memohon kepada para dokter untuk menyelamatkan nyawa anak yang ia kandung, dan menaruh kepercayaan pada doa dan kehendak Tuhan.
Nyawanya dan bayi yang dikandungnya selamat, dan ia sangat bersyukur kepada Tuhan.
Ia menghabiskan sisa tujuh bulan dari kehamilannya dalam kekuatan semangat dan dedikasi yang kuat kepada tugasnya sebagai Ibu dan dokter.
Ia sangat khawatir jika anak yang dikandung nanti lahir dalam penderitaan, dan ia meminta Tuhan untuk mencegahnya.
Jauh hari sebelum kelahiran anaknya, walaupun ia menaruh keyakinan akan pemeliharaan Tuhan, ia siap untuk memberikan nyawanya untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya.
“Jika kamu harus memilih antara nyawaku dan nyawa bayi yang saya kandung, jangan ragu, pilihlah nyawanya, saya mendesakmu untuk melakukan ini. Selamatkanlah dia”.
Pada 21 April 1962, pagi hari, Gianna Emanuela lahir. Terlepas dari upaya dan pengobatan untuk menyelamatkan keduanya, pada 28 April, pagi hari, di tengah kesakitan yang sangat hebat, Gianna Beretta meninggal dunia pada saat berusia 39 tahun.
Pemakamannya adalah saat duka, iman, dan doa bagi orang terdekatnya.
Pelayan Tuhan ini dimakamkan di makam Mesero. Paus Johamnes Paulus II membeatifikasi Gianna Beretta pada 24 April 1994, lalu dikanonisasi oleh Paus yang sama pada 16 Mei 2004.
Pestanya dirayakan setiap tanggal 28 April.
Belajar hidup dari St. Gianna
Dari St. Gianna, kita dapat belajar untuk memanusiakan manusia selama pandemi COVID-19. Bahwa setiap manusia haruslah diperlakukan sebagai manusia, bagaimanapun kondisinya.
Sering kita jumpai pada pandemi ini, bahwa masyarakat banyak mengucilkan pasien positif virus COVID-19.
Mereka menganggap bahwa orang positif COVID-19 tersebut seperti orang yang kena kutuk, bahkan masyarakat melihat orang positif virus COVID-19 seperti bangsa Israel melihat orang yang terkena penyakit kusta.
Hal ini tentulah berbeda dengan apa yang ditulis St. Gianna dalam catatannya yang berjudul “Keindahan Misi Kita”.
Di catatan tersebut ia menuliskan bahwa setiap individu dalam masyarakat dapat mendevosikan usahanya bagi kemanusiaan dalam berbagai cara.
St. Gianna menganggap bahwa setiap manusia haruslah diperlakukan seperti manusia bagaimanapun keadaannya karena nyawa manusia merupakan hal yang paling berharga yang dianugerahkan Tuhan terhadap kita.
Selain itu, dari St. Gianna kita juga dapat belajar untuk percaya terhadap penyertaan Tuhan selama masa sulit seperti ini.
Sepanjang hidupnya, St. Gianna menyerahkan dirinya seutuhnya pada Tuhan.
Pada saat masa sulit, St. Gianna memfokuskan diri pada meditasi dan mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan Allah. Pada saat akhir hidupnya, ia menyerahkan hidupnya dan rahimnya seutuhnya kepada Tuhan Allah. Kita sekarang sedang menghadapi masa-masa sulit karena pandemi COVID-19.
Oleh karena itu, kita harus percaya bahwa pada masa sulit ini Tuhan menyertai kita dan kita pun bisa melewati masa sulit ini dengan penyertaan Tuhan.