SUARA hati sebagai wujud otonomi merupakan sesuatu yang sangat asing di telinga banyak orang.
Bagaimana tidak?
Kebanyakan orang selalu menghubungkan istilah ‘otonomi’ dengan dunia politik atau pemerintahan. Sedangkan suara hati dihubungkan dengan kebaikan naluriah dari diri setiap manusia.
Sebenarnya tidak demikian.
Sebagai manusia yang beriman dan berbudi, kita harus memahami arti dari dua frasa ini dengan lebih luas dan jelas sesuai konteks tertentu.
Menurut Gaudium et Spes
Dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini (Gaudium et Spes), Konsili Vatikan II dengan tegas menjelaskan bahwa “barang-barang yang diciptakan dan masyarakat memiliki hukum-hukum dan nilai-nilai sendiri”, dan itu disebut otonomi” (GS 36).
Yang dimaksud dalam Gaudium et Spes ini adalah otonomi dalam arti yang lebih luas. Yaitu tentang kemandirian manusia, makhluk yang berakal budi.
Kemandirian ini sering juga disebut sebagai otonomi manusia yang menjadi dasar tanggungjawab moral.
Mandiri sebagai suatu sikap berkaitan dengan tanggungjawab dan terlepas dari berbagai ikatan yang menghambat gerak kemandirian itu.
Sebagai seorang beriman, kita dapat memahami bahwa otonomi adalah anugerah sekaligus panggilan serta tugas pengutusan dari Allah.
Manusia ditempatkan di dunia ini oleh Tuhan untuk mengatur dan mengembangkan dunia menurut pengertian dan tanggungjawabnya.
Di sini, Allah memberi hak istimewa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan, dan memelihara dunia ciptaan-Nya.
Namun, perlu dipahami bahwa setiap usaha yang dilakukan manusia harus sesuai dengan kehendak Allah, yaitu dengan berprinsip pada pemenuhan hidup bersama.
Sehingga setiap manusia yang mengambil bagian dalam tugas ini merupakan rekan kerja Allah yang nyata di dunia.
Suara hati
Dalam kesadaran dan kebebasan, manusia dapat mengatur dan mengarahkan dunia ciptaan Tuhan berdasarkan penghayatan akan suara hatinya.
Suara yang berasal dari kedalaman kemanusiaan ini, merupakan suatu bentuk otonomi.
Segala rencana dan tindakan bersumber dari suara hati dan kesadaran moral yang berujung pada keputusan.
Sehingga suara hati merupakan kemampuan manusia untuk menyadari tugas moral dan untuk mengambil keputusan moral.
Moralitas memiliki posisi yang esensial. Berada pada poros suara hati dan demikian membuat suara hati sebagai suara yang bermoral.
Suara hati tidak hanya menilai sarana dan tujuan usaha manusia agar sesuai dengan arah hidup. Suara hati juga menjadi pedoman dan daya penggerak bagi tujuan yang hendak dicapai.
Dalam usaha mencapai target tertentu, tak jarang kita mendapat berbagai hambatan dan tantangan. Timbulah sikap pro dan kontra untuk melanjutkan usaha tersebut atau berhenti di titik ini.
Dalam konteks ini, suara hati membantu manusia mengikatkan diri pada keputusan tertentu dan menjalani keputusan itu dengan setia dan tekun.
Membentuk suara hati
Suara hati terbentuk dalam lingkungan tempat individu hidup; keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam ranah perubahan zaman, kehidupan sosial mengalami pergeseran norma dan nilai yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan suara hati.
Manusia makin perlu mengokohkan ketabahan hati supaya tidak diseret oleh arus kebiasaan dan dapat mengambil keputusan yang mandiri dan bertanggungjawab.
Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar sangat dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etis dalam pribadi setiap individu.
Suara hati dan iman
Bagi orang kristen, Tuhan ada dalam setiap keputusan suara hati, dan keputusan ini adalah wujud nyata dari iman kepada Allah.
Sebab, seperti hidup menjadi nyata bila ada tindakan konkrit yang diambil, demikian juga dengan iman yang menjadi nyata dalam keputusan dan tindakan yang dilakukan terkait tugas dan kewajiban sehari-hari.
Sehingga, iman itu hidup bukan pertama-tama dalam agama sebagai ungkapan iman yang eksplisit, melainkan dalam tindakan moral sebagai wujud hidup beriman.
Iman yang hidup berarti iman yang dapat diwujudkan dalam setiap keputusan dan tindakan setiap hari.
Ungkapan ini hendak mengatakan bahwa iman pertama-tama bukan suatu aturan yang diterima, melainkan penghayatan hidup sehari-hari secara otonom dan bertanggung jawab dalam kesatuan pribadi dengan Allah.
Melalui suara hati sebagai wujud otonomi, manusia menerima sapaan Allah dan membawa-Nya serta dalam kegiatan sehari-hari.
Dan demikian manusia akan menyadari bahwa berbagai bentuk tindakan konkret mempunyai tempat dan nilai dalam hidup imannya kepada Allah.
Suara hati adalah tempat manusia secara pribadi mendengar panggilan untuk berjumpa dan berelasi dengan Allah (GS 16).
Bagi orang beriman kepercayaan akan hidup, tanggungjawab atas hidup, dan iman akan Allah adalah satu.
Otonomi manusia
Suara hati sebagai wujud otonomi manusia menuntut setiap orang supaya semakin bersungguh-sungguh dalam tanggungjawabnya.
Iman kepada Allah tak akan menjadi nyata bila hanya menaati aturan tertentu. Iman harus sampai pada kesadaran untuk melibatkan diri dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya kita mencapai sebuah kesimpulan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki otonomi yang sadar dan bebas. Bentuk otonomi itu tidak lain adalah suara hati.
Suara hati secara tidak langsung merujuk pada kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari di mana manusia sering membuat keputusan dan mengambil tindakan seputar kehidupannya. Suara hati berkaitan erat dengan tanggungjawab, sebab suara hati mengikat orang pada sarana demi tujuan tertentu.
Moralitas menjadi unsur utama dalam suara hati. Setiap keputusan yang berasal dari suara hati memiliki nilai-nilai moral yang sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai masalah humanitas.
Jarak suara hati kepada iman tidak jauh. Iman hanya mampu masuk ke dalam diri seseorang melalui hati.
Dalam hati, iman bergerak dan memberikan suara kepada seseorang untuk membuat keputusan dan melakukannya dengan tekun dan setia.
Suara hati adalah bentuk iman di mana kita mendengarkan suatu impuls dan impuls itu meyakinkan kita untuk bertindak.
Terkadang banyak orang tidak menyadari dari mana asal suara yang meyakinkan itu. Tetapi mereka hanya melakukannya.
Sebagai seorang kristen, kita percaya bahwa Tuhan selalu ada bersama kita. Kehadiran-Nya memampukan kita untuk melakukan kebaikan dan kebenaran.
Dia ada dalam hati kita. Dia bersuara. Marilah mendengarkan-Nya dan melakukan kehendak-Nya.