Natal 2012 lalu saya sungguh merindukan kebersamaan dengan masyarakat suku Iwaro di Sorong Selatan yang tinggal di sepanjang sungai Metemani, Sorong. Saya beruntung bisa kenal dengan masyarakat suku Metemani yang dikenalkan oleh senior kita di Sesawi, Pak Wahyuhadi dari PT ANJ Agri Papua.
Saya mendapat julukan EWO MAPYO (SI PERUT BESAR) sementara saya memanggil ibu-ibu EBUBO MAPYO (SI PANTAT BESAR). Walaupun masyarakat disana semuanya Kristen (GKI), namun naluri saya sebagai gembala Katolik tetap berjalan. Saya yang belum lama meninggalkan korps Jesuit masih merasakan gejolak kerasulan. Maka tugas-tugas pemberdayaan masyarakat lewat pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan iman saya nikmati.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah belajar bahasa dan budaya sebagaimana insting para misionaris dulu. Maka dalam waktu seminggu saya sudah sedikit berbicara dengan bahasa mereka dan mengetahui budaya yang merupakan kearifan lokal mereka, misalnya asal usul suku, asal usul nama kampung (Kampung mereka bernama SAGA yang artinya Sagu dan Garam. Dulu di tempat itu sering terjadi pertemuan antara suku Iwaro dengan masyarakat pendatang untuk barter antara sagu dengan garam, parang, bahkan senjata api rakitan yang mereka sebut mono, dll).
Dulu yang setiap hari kotbah u
Suku Iwaro yang notabene adalah suku pedalaman pesisir mempunyai tradisi khusus untuk mengungkapkan kegembiraan mereka atau menyambut tamu, yaitu dengan tarian Yembo, yaitu tarian goyang pantat menirukan kegembiraan hewan-hewan, khususnya burung kaswari karena mereka merasa bahwa nenek moyang mereka adalah burung Kaswari. bersambung