BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Sabtu , 30 Oktober 2021.
Tema: Posisi batin.
- Rm. 1: 1-2a, 11-12, 25-29.
- Luk. 14: 1, 7-11.
DALAM kesementaraan waktu putaran dunia ini, kenapa seolah-olah Allah membiarkan orang sombong, tamak, serakah, angkuh, rakus dan merasa diri selalu benar? Juga masih tetap hidup?
Tuhan, apakah Engkau memahami hatiku? Mendengar suara seruanku? Mengangkat persoalanku?
Kapankah Engkau bertindak?
“Aku bersalah dan berdosa. Apakah aku masih layak datang ke Gereja untuk sekedar duduk dan berdoa?” keluh seorang bapak muda.
“Ada yang dialami?”
“Saya tidak tahu harus ngomong apa, Romo. Betul-betul jalanku buntu. Tidak ada jalan keluar. Ingin rasanya mati.
Tapi juga tidak mungkin. Di balik kesesakan batin, masih ada rasa mencintai, menyayangi. Hati tak tega. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hidupku mandek. Dan betul-betul buntu. Runyam.
“Kenapa bisa menilai dirimu begitu?”
Gereja selalu terbuka. Gereja adalah rumah hati bagi siapa pun yang mau kembali kepada Tuhan. Tuhan tak pernah memandang rendah seorang pun, kendati ia keliru dan sangat berdosa.
Hatinya selalu terbuka dan menerima setiap kedatangan putera-puterinya.
“Tapi, saya tidak kuat di dalam Gereja, Romo.
Melihat salib Yesus, saya selalu sedih. Sedih dan menangis. Hati saya malah remuk. Saya menyalahkan diri sendiri. Saya merasa terhina. Saya merasa sangat sangat berdosa. Saya hanya bisa menunduk dan menangis. Saya tidak kuat melihat, memandang-Nya,” terangnya.
“Apa yang dirasakan, dialami?”
“Saya merasa tertuduh Romo. Saya merasa tidak tidak pantas. Hina. Saya hanya bisa menangis dan menangis.?
“Kalau begitu, kenapa engkau datang ke Gereja?”
“Itulah Romo. Saya sendiri bingung. Saya selalu ingin menghindar. Sudah lama tidak datang ke berekaristi. Tetapi ada saat-saat tertentu, kerinduan hati ini, begitu besar. Saya berani datang sendiri pada hari biasa dan jam-jam sepi.
Sejenak visitasi Mo.
Banyak saat dalam perjalanan hidupku, terkait perjalanan ke luar kota karena tugas, tiba-tiba saya membelokkan sebentar mobil saya ke gereja. Saya hanya berdiam dan menangis.
“Apakah itu menyelesaikan? Berapa lama engkau membuang waktu dan kebahagiaan dirimu bersama keluargamu. Waktu terus bergulir dan engkau membuang banyak kesempatan?”
Ia terdiam sejenak.
“Kenapa engkau menegarkan hatimu. Biarkanlah suara hatimu berbicara. Hanya datang ke gereja dan menangis terus menerus tidak membuat dirimu lebih indah. Walau pilihanmu tepat. Ambillah keputusan atas masalahmu,
“Apakah ada waktu, Romo.”
Kuajak dia di sebuah taman paroki. Kubuatkan segelas teh manis agar ia merasa aman dan nyaman.
“Pekerjaan saya sering keluar kota meninggalkan keluarga. Saya sungguh terberkati, punya keluarga yang baik dan anak-anak yang menyenangkan. Saya harus mendekati seseorang, yang di mana menjadi pintu masuk, orderan barang-barang.
Akhirnya pun saya berhasil. Tentu dengan segala cara dan teknik. Mulai mengajak makan atau memberikan sesuatu yang mereka inginkan.
Lama-lama terjadilah sebuah persahabatan yang lebih dari sekedar rekanan. Lewat dia semua barang-barang yang saya tawarkan masuk. Kami menjadi rekan bisnis yang saling menguntungkan.
Majikan perusahaan saya pun senang karena order semakin banyak. Saya diberi keluasan. Prinsipnya, tidak menggerogoti. Perusahaan diuntungkan.
Target penjualan jauh melampaui apa yang diharapkan. Hubungan kami semakin lama semakin tak bisa dipisahkan begitu saja.
Intensitas percakapan lewat media sosial dan perjumpaan membuat kami semakin dekat. Mulailah ada perjumpaan di luar kantor. kami pun terlibat dalam hubungan pribadi.
Akhirnya terjadilah.
Sementara keluarga tidak tahu-menau. Dan memang saya sembunyikan.
Saya tidak akan pernah meninggalkan keluarga saya. Dulu, saya berusaha mati-matian untuk dapat diterima dan direstui oleh mertua,” jelasnya.
Wajahnya merunduk dan sedih. Tetes airmata berjatuhan.
Apakah engkau perlu mengurbankan keluargamu hanya demi kenikmatan semu?
Paulus menegaskan, “Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya.” ay 2.
Tuhan anugerahilah umat-Mu keberanian untuk taat pada Firman Kebenaran-Mu. Amin.
Harus mengambil keputusan tegas.