TIBA-tiba saja, Sumini menghilang. Dan para tetangga kebingungan.
Tapi, siapa Sumini?
Ia tetangga saya. Tukang sayur di kampung kami. Sudah lebih 10 tahun, setiap pagi “buka lapak” warungnya.
Pelanggan antri. Harga melawan. Servis memuaskan. Tiap pagi sampai siang, ibu-ibu berkerumun “menghadap” dia. Tak kenal hujan, tak peduli panas, tak makai masker dan tanpa jaga jarak.
Sudah lebih tiga minggu, sayur-mayur agak sulit didapat. Konon, Sumini sekeluarga tersambar Covid-19. Saat ini sudah membaik, tapi belum mulai berdagang kembali.
Lantas, apa istimewanya sakitnya Sumini?.
Tak ada. Sumini terpapar Covid-19, ketika PPKM Darurat belum diterapkan di Jawa-Bali. Jabotabek masih hiruk-pikuk, padahal virus terang-terangan mengancam kita.
Para pembeli dan Sumini, idem ditto.
Business as usual, seolah Covid-19 bukan “tamu” berbahaya. Selain Sumini, entah berapa pembeli yang juga terpapar. Tak ada data tentang itu.
Alhamdulillah, Puji Tuhan, saya senang, pelanggan gembira, Sumini berangsur sembuh.
Tiga pekan lebih warung sayur Sumini tutup. Itu membuat ekonominya mandeg.
Bayangkan, ambil saja sehari omzetnya lima juta rupiah. Dia untung 10%. Bisa dihitung uang yang dilipat masuk ke dalam dompetnya.
Kalau 21 hari absen, silakan hitung sendiri rupiah yang terbang. Belum biaya obat dan vitamin yang harus diminumnya. Atau makanan ekstra yang harus disantapnya.
Masih ada kerugian tak langsung yang diderita para pelanggannya. PPKM belum diterapkan, prokes tak dihiraukan dan para pejuang anti PPKM tak diketahui di mana.
Sekali lagi, Sumini jatuh sakit, saat PPKM belum terbit. Tanpa PPKM, ekonomi masyarakat bisa juga terdampak. Bukan hanya ekonomi nggreges, tapi badan juga demam, dan sendi-sendi ngilu, sekeluarga.
Saya bukan pro atau anti PPKM. Tak kuasa saya membayangkannya. Apalagi menganalisanya.
Tapi pilihan untuk menanggulangi Covid memang serba sulit.
Dibuat PPKM salah, tak ada PPKM juga keliru. Keras kepada pelanggar dituduh melawan HAM, lunak dianggap lemah.
Menghukum pembuat fitnah dan hoaks disebut otoriter, melepas dengan meterai dianggap meniadakan efek jera.
Serba salah. Maju kena, mundur kena.
Ketika terbit aturan dilarang mudik, banyak pihak mencercanya. Padahal bukti nyata pernah ada. Mudik tahun lalu membuat angka pasien melipat ganda.
Ketika tahun ini peristiwa yang sama tiba, sebetulnya mudah merujuk ke contoh soal. Tapi faktanya tidak sesederhana itu.
“Keledai pun tak akan terperosok dua kali dalam lubang yang sama?” (Pepatah Yunani, yang dikenalkan oleh pujangga Homer dan Aesop).
Tapi kita terperosok juga. Lubangnya sama. Kali ini, malah lebih dalam.
Di awal pandemi banyak yang menjerit agar memberlakukan lockdown. Sampai cucunya disuruh ikut-ikutan membuat surat dalam bahasa Inggris.
Setelah PPKM diterapkan orang-orang yang sama berbalik seratus delapan puluh derajat. Kini mereka berteriak untuk menghapus PPKM.
Begitulah pandemi Covid-19 memporak-porandakan peradaban. Adab dibuang. Tak beradab dijunjung tinggi.
Di sini, konflik seolah ditiup agar membesar dan membakar kota “Roma”. Kalau di sana masyarakat berlomba-lomba memadamkan Covid-19. Tapi, di sini malah saling tikam, agar pandemi semakin lama dan besar.
Siapa tahu punya kesempatan menggunting dalam lipatan.
“Jadi, saya harus bagaimana?”
Bersabarlah. Sabar itu subur. Percayalah, Allah bersama orang-orang yang sabar.
Yang kedua, percayakan kepada umara. Mereka punya banyak informasi terpercaya. Juga berbagai sumber daya.
Awam seperti saya menyimpan informasi sepotong-potong. Penggal sana, tempel sini.
Apakah pantas memberi masukan kepada pihak yang lebih kompeten dan lengkap infrastrukturnya?.
Pasti mereka tak selalu benar. Keputusannya diwarnai juga dengan ketidak sempurnaan. Ada kekurangan di sana-sini. Tapi kalau ada jutaan suara berbeda dan semua ingin didengar, malah sangat mungkin menjadi noise, atau gandeng (bahasa Sunda untuk bising).
Bisa dibayangkan bagaimana carut-marutnya keadaan, kalau ada sejuta suara yang berbeda-beda diteriakkan bersama-sama dalam ruang udara yang sama dan waktu yang bersamaan.
Akankah mungkin dicapai divergensi masukan hingga menjadi valid dan bermanfaat?
Saya ragu.
Yang ketiga, bangun trust.
“Percaya” harus diikuti dengan “bisa dipercaya” dari pihak yang dipercaya. Sifatnya dua arah dan reciprocal.
Trust-trustworthy menjadi prasyarat untuk menekan pandemi. Trust ke segala arah. Atas-bawah, kanan-kiri, muka-belakang.
Mari saling peduli. Hindari dengki dan iri. Bangun trust yang tak ternilai harganya.
Semuanya tentang relasi, sebagai manusia Indonesia yang mempunyai bangsa dan tanah air yang satu dan sama.
“Indifference is expensive. Hostility is unaffordable. Trust is priceless. It’s all about relationship”.
(Ted Rubin, penulis buku terkenal Return on Relationship)
@pmsusbandono
20 Juli 2021