Hari itu, dari pagi seharian aku pergi. Bersama beberapa teman aku mancing sepanjang sungai, kira-kira jarak 1 km dari rumah. Masih teringat betul, sore itu aku membawa hasil seekor ikan lele. Ada rasa bangga dan senang. Sampai di rumah hari sudah petang. Tidak seperti biasa, rumah tampak lengang. Biasanya jam segitu Ibu sedang menyiapkan makan malam di dapur. Tumben pula, Bapak pun tidak kelihatan. Barangkali ada hajatan di rumah tetangga. Rumah masih gelap. Lampu-lampu dian belum diisi minyak, belum dinyalakan, dan belum dipasang di atas meja atau pojok-pojok rumah. Ikan lele aku taruh pada baskom dan aku tutupi cobek dari tanah liat. Lalu aku mencari-cari siapa yang ada di rumah.
Kamar demi kamar aku masuki. Kosong. Tinggal kamar Ibu, pintunya tertutup. Pelan-pelan kubuka. Di atas tempat tidur, kulihat Ibu terbaring miring. Aku mendekat. “Kok jam segini masih tidur? Jangan-jangan Ibu sakit,” begitu pikirku. Lalu aku pegang badan Ibu. Dan dengan suara lirih kutanyai dalam bahasa Jawa: “Bu…., kenapa? Ibu gerah po?” (Bu…., kenapa? Apa Ibu sakit?)
Karena tetap saja bingung mau berbuat apa, akhirnya aku balik badan, meninggalkan Ibu sendirian di kamar. Aku teringat kembali ikan lele yang kutaruh dalam baskom di dekat ember bundar tempat cuci piring. Dan ketika sampai di situ, kulihat cobek sudah terguling. Blaik, asem kecut! Satu-satunya ikan hasil jerih-payah seharian memancing raib dicaplok kucing.
Photo credit: sidomi.com, khansa-khairunisaa.blogspot.com, revi-antony.blogspot.com
romo saya ikut nelen ludah menghayati cerita rm soal soto tadi. di masa depan mungkin rasa enaknya soto bisa diulang bila resepnya yg sesuai, tapi memori “ditunggui bapak, diajak ngobrol penjualnya” tidak akan pernah sama. 🙂 selamat (membayangkan) makan soto romo.