Minggu, 10 Oktober 2021
- Keb.7:7-11.
- Mzm.90:12-13.14-15.16-17.
- Ibr.4:12-13.
- Mrk.10:17-30
BERIMAN bukan melulu urusan menyembah Tuhan.
Iman yang hidup itu berdampak pada sesama, khususnya kepada orang yang lemah dan tersingkir.
Jika iman hanya medan pencarian kesucian pribadi tanpa peduli nasib sesama, kita ini bisa diibaratkan bagai burung yang salah satu sayapnya patah, tidak akan bisa terbang tinggi.
Demikian juga iman yang hanya diungkapkan dalam ritus peribadatan tetapi tidak terungkap dalam kepedulian dengan sesama.
Iman itu kosong dan mati.
“Saya sungguh bingung dengan sikap dua anakku,” kata seorang bapak.
“Yang satu aktif kegiatan menggereja, banyak berdoa dan alim, namun jika di rumah, selalu di kamar, dia asyik dengan dunianya sendiri, hingga kadang terkesan tidak peduli dengan orang lain,” lanjutnya.
“Sedangkan anakku yang satu, lebih suka kumpul dengan teman-temannya, suka iseng, sedikit ugal-ugalan, pergi ke gereja hanya pada akhir pekan. Namun mudah dimintai tolong, serta bisa membawa keceriaan bahkan di meja makan,” katanya.
“Mereka berdua bertolak belakang sikapnya, namun saling menyanyangi,” ujarnya lagi.
“Saya ingin mereka melanjutkan usahaku, namun saya bingung kepada siapa harus saya menyerahkannya,” ujarnya.
“Saya melihat anakku pertama sangat religius, namun kurang hangat dan terlalu cuek dengan orang lain,” katanya.
“Sedangkan anak yang satunya bisa membawa kehangatan dan keceriaan orang sekitarnya, namun kalah religiusnya dibandingkan dengan kakaknya,” lanjut bapak itu.
“Kedua anakku masih punya kelekatan masing-masing yang harus diolah, supaya kelekatan itu tidak menjerat laju langkah mereka,” sambung bapak itu.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar,
“Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”
Memang harus diakui, ikatan yang paling sulit dilepaskan manusia untuk mengikuti Yesus adalah harta benda.
Jika ditilik lebih dalam, apa yang dikritik Yesus pertama-tama bukan soal memiliki kekayaan. Tetapi kelekatan terhadap kekayaan tersebut.
Kelekatan ini adalah salah satu jerat paling berbahaya dari kekayaan.
Semakin lekat, semakin orang enggan untuk melepaskannya dan semakin orang dikontrol olehnya.
Padahal, kekayaan itu fana dan tidak bertahan lama, sebab ia mudah diperoleh tetapi juga mudah sekali hilang dalam sekejap.
Orang yang memiliki sikap lepas bebas adalah orang yang memiliki kebijaksanaan berkata “cukup.”
Artinya berani berkata “cukup” atas keperluan tanah milik, barang, uang, dan orang demi mengarahkan hidupnya kepada Kristus.
Karena kita ini, tidak akan pernah puas akan harta milik.
Bagaimana dengan diriku?
Adakah sesuatu yang membuatmu tidak bebas dalam mengikuti Tuhan?