SCIO cui credidi atau “Aku Tahu Kepada Siapa Aku Percaya” 2 Tim 1:12b
SAYA dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1984 di Ambolomborona, sebuah kampung kecil di daerah pegunungan bagian tengah Pulau Madagascar. Saya terlahir sebagai putera kelima dari sembilan bersaudara.
Oleh kedua orangtuaku Ravaoavy Dieu Donné Basile dan Ratafara Marthe (alm), saya diberi nama Ravaoavy Samianagnandaza David dan dipanggil Davi.
Saat berumur lima tahun, saya masuk sekolah dasar Katolik di Stasi Saintsoa. Setiap stasi atau paroki di Madagaskcar selalu ada sekolah katolik. Di situlah saya bersekolah sampai lulus SD (1989–1997).
Baca juga: Tahbisan Tiga Imam MSF, Satu Calon dari Madagascar
Doa bersama
Saya hidup di tengah-tengah keluarga besar yang mempunyai kebiasaan doa bersama setiap malam sebelum tidur. Dalam doa tersebut selalu ada doa memohon panggilan. Kebiasaan itulah yang ditanamkan dan diajarkan kedua orangtua sejak saya masih kecil.
Kedua orangtua juga sangat aktif dalam kegiatan gereja. Teladan hidup mereka yang selalu terlibat aktif dalam kehidupan menggereja menjadi inspirasi bagi saya untuk berani menanggapi panggilan Tuhan. Pendidikan iman dalam keluarga juga sangat kuat.
Sebagai guru agama, ayah mempunyai kebiasaan untuk mengajar agama kepada anak-anaknya serta anak tetangga kami, biasanya tiga kali dalam sepekan. Kebiasaan ini membantu saya untuk semakin mengenal, menghayati, dan mencintai iman katolik.
Setamat SD di desa, saya melanjutakan pendidikan di SMP Negeri di Andranovorivato, sebuah kota kabupaten. Di sana saya tinggal di sebuah keluarga katolik yang saleh selama empat tahun (1997-2001).
Menanggapi panggilan
Sejak berusia 10 tahun saya sudah berkeinginan menjadi seorang imam. Selain itu, saya tumbuh di tengah-tengah keluarga katolik yang sangat memperhatikan hidup rohani, sehingga semakin memantapkan keinginan saya untuk bisa menjadi imam.
Pengalaman pastor paroki mengalami stroke dan harus berobat ke Italia sungguh membekas dalam memori. Selama berbulan-bulan tidak ada misa dan pelayanan komuni untuk orang sakit.
Mengapa harus menunggu imam dari Italia? Seandainya saya imam, saya dapat memimpin misa dan saya sendiri yang mengantar komuni untuk nenek saya.
Inikah yang disebut benih panggilan?
Saat kelas 2 SMP, ada tawaran mengikuti retret panggilan. Saya langsung tertarik untuk ikut.
Sepulang retret, saya semakin mantap untuk bisa menjadi imam. Saya berkonsultasi dengan pastor di Paroki dan orangtua.
Sesudah lulus SMP saya mengikuti tes masuk Seminari Menengah Notre Dame de Kianjasoa, Keuskupan Agung Fianarantsoa, dan saya diterima pada 13 September 2001. Pendidikan seminari selama empat tahun dapat saya lalui tanpa hambatan, dan semangat panggilan menjadi imam semakin kuat.
Pada musim semi tahun 2005 saya bersama 28 teman angkatan yang berasal dari berbagai keuskupan dinyatakan lulus dan dapat melanjutkan untuk masuk tahun rohani yang bertempat di Toliary, bagian barat daya Madagascar.
Mengenal MSF saat Tahun Rohani
Yang agak berbeda dengan formasi pendidikan seminari di Indonesia. Para seminaris harus masuk Tahun Rohani selama setahun untuk mengambil keputusan tentang pilihan hidupnya, mau masuk ke Seminari Tinggi Keuskupan menjadi imam keuskupan (dioses) atau memilih hidup membiara dengan masuk Tarekat Religius tertentu. Kegiatan selama tahun rohani diarahkan pada bimbingan rohani dan mengenal berbagai pelayanan gereja dan tarekat religius.
Dari 28 orang seangkatan, tiga orang yang memutuskan untuk memasuki biara rarekat religius. Dan saya sendiri melamar ke Kongregasi Para Misionaris Keluarga Kudus (MSF).
Saya tertarik dengan kharisma MSF yaitu kerasulan keluarga, kerasulan panggilan, dan kerasulan misi. Ketiga kharisma ini sejalan dengan harapan saya untuk menjadi imam yang melayani keluarga, tidak tergantung pada domisili tertentu dan siap melayani di mana pun.
Kongregasi MSF mempunyai perhatian khusus terhadap pastoral keluarga.
Selama menjalani tahun rohani saya semakin mengenal tarekat MSF, karena Seminari Propedetika dan Provinsialat MSF berada di kota yang sama, yaitu Toliary, Madagascar Barat Daya. Saya sering berkunjung ke Provinsialat Andabizy untuk bertemu dengan Pater Romain Zwick MSF selaku Pemimpin Propinsi Madagascar pada waktu itu (2003-2006).
Masa Postulat, Novisiat, Skolastikat
Setelah mendapat rekomendasi dari Uskup Agung Fianarantsoa, saya diterima menjadi postulan di Biara Misionaris Keluarga Kudus (MSF), pada tanggal 1 Oktober 2006. Biara MSF terletak di Soaihavanana–Ambalavao. Setelah satu tahun postulan, saya diizinkan melanjutkan ke jenjang novisiat pada tangga 18 September 2007, bersama enam teman seangkatan.
Pada Hari Raya Penampakan Bunda Maria di Bukit La Salette 19 September 2008 di rumah Novisiat Soaihavanana-Ambalavao, kami mengikrarkan kaul pertama sebagai biarawan MSF. Setelah itu kami menuju Ibukota Madagaskar yaitu Antananarivo untuk studi studi filsafat dan teologi sebagai skolastik MSF (2008–2011).
Tahun Orientasi Pastoral di Kalimantan
Setelah lulus S1 Filsafat, saya bersama seorang Frater lain menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP-er) di Bumi Borneo, Kalimantan. TOP ke Indonesia dalam rangka pertukaran Frater TOP-er untuk mengembangkan semangat misioner sekaligus menjadi kesempatan untuk mengenal medan karya MSF di Indonesia, khususnya di MSF Provinsi Kalimantan.
Akhir Juli 2011, saya bersama Frater Rija Jean Christian MSF menuju tanah misi Indonesia.
Pengalaman belajar bahasa, penyesuaian diri dengan budaya baru di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun sedikit demi sedikit, saya menghadapinya dengan iman dan keyakinan bahwa pasti Tuhan selalu membantu.
Setelah mengikuti kursus bahasa Indonesia kurang lebih tiga bulan di Balikpapan, saya diutus umenjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santa Teresia Sangatta, Keuskupan Agung Samarinda, selama satu tahun 2012-2013.
Pada awal tahun 2013 saya ditugaskan di Biara Sacra Familia Urup Ampah (Pusat Pastoral MSF Kalimantan). D isitulah saya belajar banyak hal, sekaligus mendapat banyak pengalaman pastoral, antara lain pelaksanaan ketiga karya khas MSF yaitu kerasulan keluarga, kerasulan panggilan dan kerasulan misi.
Juni 2013 Tahun Orientasi Pastoral berakhir dan kami pulang ke kampung halaman yaitu Madagaskar.
Studi teologi, kaul kekal, tahbisan diakon
Setelah menjalani TOP saya bersama seorang teman frater melanjutkan studi teologi di UCM (Université Catholique de Madagascar) selama tiga tahun (2013-2016). Dua tahun kemudian saya mengikrarkan kaul kekal di Tarekat MSF pada tanggal 27 Desember 2015 di Paroki Santa Teresia Betania-Toliary.
Beberapa bulan menjelang tahbisan diakon, tiba-tiba ada berita duka bahwa ibu saya Ratafara Marthe telah berpulang ke rumah Bapa. Sebagai anak laki-laki yang paling dekat dengan ibu, peristiwa ini menjadi pengalaman berat bagi saya dalam menanggapi panggilan. Tetapi oleh karena rahmat Tuhan, saya tetap yakin bahwa meskipun ditinggalkan ibu, Tuhan tidak pernah meninggalkan.
Akhirnya pada 28 Agustus 2016 di Paroki Santo Petrus dan Paulus Andavadoaka – Keuskupan Morombe, saya bersama seorang fater menerima Tahbisan Diakon.
Kembali lagi ke Indonesia
Ketertarikan saya pada Pastoral Keluarga dan Pelayanan Misioner membawa saya kembali ke Indonesia untuk menjalani masa diakonat dan sekaligus belajar Pastoral Keluarga di Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo MSF” di Jl. Guntur 20, Semarang, Jawa Tengah, sejak tanggal 1 November 2016.
“Aku Tahu Kepada Siapa Aku Percaya” (2 Tim 1:12b)
Saya telah menginjak tahun ke-16 memasuki rumah pendidikan (2011-2017). Saya sungguh bersyukur dan menyadari bahwa panggilan adalah anugerah Tuhan. Dengan menerima anugerah itu, saya dipanggil dan diutus untuk membagikan anugerah itu kepada sesama, khususnya dalam anugerah tahbisan imamat.
Meskipun saya merupakan pribadi yang lemah dan rapuh, namun saya tetap percaya akan kasih dan penyertaan Tuhan sampai saat ini. Dalam menjalani tugas perutusan diakon sampai tahbisan imamat di Indonesia, saya menghayati semangat Pater Jean-Baptiste Berthier, pendiri MSF, sebagai misionaris tanpa kenal lelah dan siap diutus ke mana pun sesuai dengan kebutuhan Gereja.
Hal ini membuktikan bahwa Kongregasi MSF adalah tarekat internasional, universal. Semua ini patut disyukuri karena sebagai jawaban dari kasih Tuhan. Dengan menerima tahbisan di Indonesia, saya bersyukur dan tidak merasa sendirian. Sebab Tuhan tidah pernah meninggalkan saya.
Itulah yang menjadikan saya yakin dan percaya, bersama Santo Paulus berani dengan mantap mengatakan “aku tahu kepada siapa aku percaya” (II Tim 1:12b). Hal ini bukan berarti bahwa saya sudah cukup mengenal Tuhan dan kemudian akan berhenti.
Dengan memilih motto hidup ini saya terdorong untuk mengenal lebih mendalam tentang apa yang saya imani. Bagi saya, menjadi imam berati ingin berbagi apa yang saya imani dan saya hidupi. Meskipun tidak mengalami perjumpaan secara langsung seperti Paulus, saya boleh mengatakan bahwa lewat perayaan ekaristi, sabda Allah, pengalaman perjumpaan dengan umat, orangtua, para guru agama, para formator, dosen, saya berani mengatakan bahwa saya semakin mengenal Kristus dan ingin mengikuti-Nya lehih dekat dalam hidup imamat.
Terima kasih Tuhan, akhirnya aku boleh bergabung dalam barisan imam MSF pribumi yang perlahan tapi pasti mulai banyak. Itu karena setelah MSF berkarya selama 40-an tahun, barulah ada imam pribumi lokal.
Itu pun bermula ketika seorang imam diosesan (praja) bernama Vincent Rajoma yang prihatin lalu pindah menjadi MSF pertama. Dialah yang menjadi peletak dasar panggilan MSF Madagascar sehingga bisa berkembang hingga kini.
Pengalaman menerima tabisan di tanah misi pada 18 Juli 2017 tanpa kehadiran keluarga semakin meneguhkan saya untuk melayani Gereja Universal.
Berkah Dalem.
PS:
- Naskah asli dikerjakan oleh Diakon David atas permintaan Sesawi.Net dan naskah edisi pertama ini mendapat suntinga dari Alfred B. Jogo Ena, seorang mantan frater MSF yang pernah tinggal dua tahun di Madagascar dalam rangka TOP.
- Redaksi mengucapkan terima kasih atas bantuan Romo Hibertus Hartono MSF dari Komisi Keluarga KWI dan Romo Aristanto MSF di Skolastikat MSF di Banteng – Yogyakarta yang menghubungkan kami dengan Diakon David MSF ini.