BERITA perkawinan model-artis Cathy Sharon dengan Eka Kusuma di Gereja Paroki Fransiskus Xaverius di Kuta, Bali, Sabtu (14/4) yang dilansir media hiburan dengan menonjolkan “kehadiran” 17 uskup telah menuai kontroversi di banyak milis katolik. Utamanya, mereka mempertanyakan mengapa sampai 17 uskup ‘bersedia’ menjadi wali Gereja untuk meresmikan perkawinan selebriti ini, sementara di banyak kesempatan tak banyak umat ‘biasa’ bisa menggaet uskup untuk menikahkan mereka.
Apa
Gereja –dalam hal ini para bapa Uskup dan pastur— apakah mereka sudah mulai ‘pilih kasih’? Ini pertanyaan bernada kritik dan kontroversial menanggapi berita yang kurang akurat tersebut.
Tidak akurat
Sangat mungkin kalau wartawan peliput acara perkawinan Cathy Sharon-Eka Kusuma itu tidak bisa membedakan mana uskup dan mana pula pastur ‘biasa’. Nah, ketika diadakan sesi pemotretan pengantin dengan jajaran para imam –termasuk Uskup—hingga mencapai angka 17, dengan gampang pula diambil kesimpulan ‘sembrono’: yang mengijabkan pasangan pengantin bernama Cathy Sharon-Eka Kusuma itu adalah 17 Uskup!
Wah….dan dalam sekejap, sejumlah komentar miring pun bermunculan dimana-mana. Terutama yang menyangkut soal issue Gereja pilih kasih itu.
Seorang pastur yang kebetulan datang menjadi wakil Gereja dalam misa perkawinan itu sedari awal mengatakan, tidak ada perlakukan istimewa yang diperlihatkan kelima uskup itu kepada model-artis Cathy Sharon.
Menurut romo ini, juga tidak benar lima uskup datang menjemput Cathy dan kemudian mempersilahkan pasangan calon pengantin ini diarak dan dipersilakan mencium altar.
Liturgi perkawinan mereka berlangsung mengikuti tata cara Gereja Katolik dan misa perkawinan mereka dipimpin oleh Mgr. Silvester San Pr, Uskup Denpasar.
“Lima uskup dan 12 imam lainnya yang hadir memberkati perkawinan mereka itu adalah undangan dan bagian dari keluarga Eka Kusuma,” demikian bunyi rilis resmi dari keluarga Eka menyikapi komentar sinis dan di luar proporsi yang beredar di banyak milis katolik.
Kepada Sesawi.Net, romo yang juga hadir dalam misa perkawinan itu menyebutkan bahwa hadirnya para uskup dan romo itu lebih karena mereka ingin menunjukkan penghargaan tinggi dan apresiasi terhadap keluarga pengantin pria yang selama ini telah berbuat kebaikan bagi Gereja. “Jadi, tidak ada hubungannya dengan Cathy yang dikenal sebagai model dan artis,” tandas romo alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1974 ini.
Photo credit: Mr. Andy
Saya sendiri bukan siapa2, dan malah ndak tahu sapa itu pengantin berdua, tapi kebagian bingung juga, soalnya lumayan banyak juga temen2 yg mempertanyakan hal itu, baik sesama katholik maupun di luarnya. Ya, maklum lah, sekarang orang yg cuman denger ‘sriwing2’ saja sudah bisa bikin postingan berita burung di sana sini, apalagi lagi jika bahasannya termasuk isu2 yg cukup sensitif semacam kepercayaan, di mana kecurigaan akar rumput pada pemimpin, terutama pemerintah, cukup besar. Dalam hal mana kemudian kepercayaan yg tinggal sedikit diberikan kepada pemimpin2 dr agama yg dipeluknya, jika kemudian didapati adanya pola2 tindakan yg dianggap sama, ya resikonya kemudian pada meraba2: “jangan2”, “gek2” mban cinde mban ciladan, dsb.
Ya, monggo saja Mo, bagaimana baiknya utk memberiken pemahaman bagi yg mempertanyaken jika mmg dianggap perlu.
Tidak perlu banyak, yang perlu ada hanya seorang pastor sudah cukup juga.
“Apa yang kamu lakukan untuk saudaraKu yang paling kecil itulah yang kamu lakukan untuk KU” ? Apakah tidak cukup jelas ?
Berbuat banyak kebaikan,untuk Gereja sekalipun, bukanlah
untuk mendapat balasan;namun semata-mata karena rasa syukur kita atas rahmat kasih NYA.
Mereka (wartawan) tidak mungkin kita tuntut untuk harus mampu membedakan mana uskup mana imam. Karena itu kita tidak bisa salahkan mereka. Yang pasti, impact yang muncul ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi kebanyakan umat. Sama seperti kejadian perkawinan cucu Ciputra yang dihadiri 12 Uskup tempo hari lalu.
Karena itu, IMHO, terkait acara-acara perkawinan selebriti/konglomerat seperti ini, alangkah indahnya ketika Uskup/Imam lebih jauh dan dalam mempertimbangkan setiap undangan dari umat, khususnya yang selama ini sudah banyak ‘berinvestasi’ secara materi maupun emosi di dalam Gereja. Sebab umumnya orang setelah memiliki harta kekayaan berlimpah secara naluriah mencari kehormatan/kemuliaan bagi dirinya.
Jadi, bagaimana caranya agar para Uskup dan Imam membantu umat yang kaya dan baik hati agar tidak jatuh dalam upaya memuliakan diri/keluarga (walau dalam bingkai kegiatan rohani) melainkan hanya mengupayakan kemuliaan Tuhan semata?