Home BERITA “Tanaman Monster” Itu Namanya Radikalisme

“Tanaman Monster” Itu Namanya Radikalisme

0
Ilustrasi -- Fundamentalisme dan kekerasan by Engaging Peace

PADA awalnya, negara dan bangsa Indonesia lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan rakyatnya. Rasa ini jugalah yang membuat segala macam perbedaan mulai dilupakan demi mencapai persatuan.

Persatuan pun dapat tercapai dengan Pancasila sebagai materai kontraknya.

Hal inilah yang membuat negara dan bangsa Indonesia lahir dari kesepakatan rakyat dan bukan kompromi.

Namun seiring berjalannya waktu, rasa persaudaraan dan persatuan negeri ini mulai terancam dari berbagai aspek. Mulai dari suku, ras, budaya, hingga agama yang seharusnya menjadi kekayaan malah menjadi pisau bermata dua yang melukai persatuan itu sendiri.

Penyebab permasalahan ini tidak lain adalah sikap anti toleransi dan sikap yang menganggap dirinyalah yang paling benar.

Paham radikal sebagai tunggangan politik

Sikap-sikap ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi sikap fanatik yang akhirnya jatuh pada paham radikalisme.

Radikalisme bukanlah masalah baru lagi di Indonesia, melainkan sudah mendarah daging dengan kehidupan sehari-hari.

Hal ini bukanlah tanpa sebab melainkan memang sengaja dihadirkan sebagai sebuah tunggangan bagi setiap orang yang ingin menghancurkan persatuan yang ada di negeri ini.

Rupa-rupanya pun beragam. Ada yang membalut dirinya dengan budaya, suku bahkan agama, tetapi pada akhirnya jatuh pada politik sebagai muara utama.

Ini merupakan tantangan bagi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara menghadapi “tumbuhan monster” ini. Hal ini nampak dari usaha-usaha yang dilakukan oleh banyak orang yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi yang mereka inginkan.

Keadaan ini semakin diperparah dengan isu-isu pemisahan diri dari beberapa daerah. Sebenarnya isu-isu itu muncul bukanlah tanpa sebab, melainkan muncul karena ketidakadilan yang mereka rasakan.

Pemerintah lebih sibuk mendengarkan suara kaum mayoritas dan cenderung mengabaikan suara kaum minoritas.

Pemerintah atau bahkan rakyat negeri ini seakan lupa bahwa negara ini lahir karena kesepakatan dan bukan hasil kompromi apalagi voting.

Mereka lupa bahwa kesepakatan bisa saja diakhir apabila kesepakatan itu dilanggar dan dikhianati.

Walaupun begitu tidak ada yang tahu apakah mereka benar lupa atau pun memang sengaja berpura-pura lupa.

Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia sudah sewajarnya merenung dan merefleksikan kembali permasalahan negara kita. Kita seharusnya sadar bahwa nilai sebuah persaudaraan dan persatuan lebih luhur daripada menjalankan hukum agama secara buta.

Agama membius atau memotivasi

Permasalahan di dalam negeri ini seolah membenarkan perkataan Karl Marx yang mengatakan bahwa agama itu adalah “candu”. Hal ini mungkin benar dan mungkin juga tidak.

Agama bisa saja membuat seseorang mabuk akan dunia akhirat atau surga yang membuatnya rela membantai sesama demi sebuah konsep yang belum tentu kebenarannya.

Namun agama juga bisa membuat seseorang menjadi manusia yang selalu ada dan menjadi sahabat bagi setiap orang yang membutuhkan.

Semuanya ini sebenarnya tergantung pada sudut pandang dan pola pikir masing-masing yang kemudian diaplikasikan dalam hidup.

Pada akhirnya tergantung pada kita mau menjadi pecandu agama atau pengaplikasi ajarannya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version