Puncta 14.02.22
PW St. Sirilus, Pertapa dan Metodius, Uskup
Markus 8: 11-13
LEONARDO BOFF, seorang teolog dari kelompok “The Theology of Freedom” dari Amerika Latin sekali waktu pernah bertanya pada Dalai Lama, pemimpin umat Buddhis dari Tibet, “Yang Mulia, apakah agama yang paling baik itu?”
Boff menduga bahwa Dalai Lama akan menjawab, “Agama Buddisme dari Tibet.”
Ternyata sambil tersenyum, Dalai lama menjawab, “Agama terbaik yaitu agama yang membuat anda menjadi orang yang lebih baik.”
Sambil menutupi rasa malu karena punya dugaan yang egoistik, Boff bertanya lagi, “Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik?”
Pemimpin yang bijak itu menjawab, “Agama apa pun yang membuat anda lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih obyektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih ber-etika.
Agama yang punya kualitas seperti di atas adalah agama terbaik.”
Leonardo terdiam sejenak dan terkagum-kagum atas jawaban yang luhur dan bijak dari seorang Dalai Lama.
Pemimpin umat Buddhist itu melanjutkan, “Tidak penting bagiku, apa agamamu, tidak peduli anda beragama atau tidak, yang betul-betul penting bagi saya adalah perilaku anda di depan kawan-kawan, di tengah keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat dunia.”
Orang Farisi ingin mencobai Yesus. Mereka meminta kepada-Nya tanda dari surga. Mereka ingin minta bukti atau tanda bahwa Yesus utusan dari surga.
Yesus mengeluhkan sikap batin mereka. Percaya pada yang kelihatan saja mereka tidak bisa, bagaimana mungkin bisa paham tanda dari surga.
Yesus telah menyembuhkan banyak orang sakit; orang buta melihat, orang tuli mendengar, orang bisu berbicara, orang mati dibangkitkan, orang lumpuh berjalan, orang berdosa diampuni, orang miskin mendengar kabar gembira.
Itu semua adalah tanda kehadiran Allah. Namun mereka tidak melihat tanda-tanda itu. Bagaimana mungkin mereka masih meminta tanda dari surga?
Dalai Lama bisa melihat tanda-tanda agama yang baik adalah agama yang terwujud dalam tingkah laku pemeluknya; welas asih, berpikir sehat, obyektif dan adil, kasih sayang, tanggungjawab, manusiawi dan ber-etika.
Orang-orang seperti itu dituntun oleh ajaran agama yang baik dan benar.
Sebaliknya kaum Farisi tidak bisa melihat apa yang dikerjakan Yesus sebagai tanda-Nya bahwa Dia adalah utusan dari surga. Karena kedegilan hati mereka, Yesus tidak memberi tanda.
Orang yang tidak percaya, sekalipun diberi tanda dan dijelaskan, mereka tetap “maido” (meragukan), tidak mau terbuka dan percaya.
Apakah anda juga tidak percaya dan meragukan kasih-Nya yang rela mati untuk anda?
Jika Yesus boleh bertanya kepada anda, “Apa tanda atau bukti bahwa engkau mengasihi-Ku? Apa balasan cintamu pada-Ku?
Lalu apa jawaban anda?
Sepanjang hari menikmati hujan,
Mendung tebal menutupi angkasa.
Tandanya kasih adalah pengorbanan,
Bukan di mulut tetapi di tindakan nyata.
Cawas, masih butuh bukti……?