SEBUAH penghayatan iman yang dilandaskan pada suatu sinkretisme tentu membahayakan kemurnian iman. Sebuah devosi kemudian menjadi sebuah kegiatan populer belaka. Berdevosi hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi.
Hal ini mengemuka dalam Temu Internasional Teolog SCJ di Wisma Syantikara, rumah pembinaan milik para Suster Carolus Borromeus, Jumat (21/7) lalu. Pater Quinto Regazzoni SCJ dan Pater Manuel Antonio Teixeria Sequeira SCJ, mewakili rekan-rekannya dari Amerika Selatan, mengatakan bahwa devosi yang berkembang di kawasan Amerika Latin menjadi sebuah bentuk sinkretisme budaya antara budaya pribumi, Eropa, dan Afrika.
Baca juga: Temu Internasional Teolog SCJ: Menghidupi Devosi dalam Kenyataan Hidup (3)
“Devosi-devosi populer di antara para anggota Dehonian adalah devosi kepada Bunda Maria, Hati Kudus dan kepada para santo-santa. Hidup keagamaan di Amerika Latin tumbuh dari devosi-devosi keluarga dan devosi-devosi mulai tumbuh secara alami sebagai budaya popular,” kata Pater Manuel Antonio Teixeria Sequeira SCJ.
Meski begitu, pencampuran tiga budaya besar ini menjadikan umat beriman lebih hidup dalam menjalankan aktivitas peribadatan. Hal ini terbukti dengan berbagai perayaan untuk menghormati orang-orang kudus.
Bagi para Dehonian di Amerika Latin, devosi Hati Kudus berarti mengikuti cara hidup bertindak dan merasa. “Terlepas dari karakteristik populernya, devosi Hati Kudus mesti dipantulkan lebih dalam melalui analisis alkitabiah,” tandas Pater Quinto Regazzoni SCJ yang asal Paraguay ini.
Keselarasan iman dan penghayatan
Devosi kepada Allah menuntut suatu totalitas. Artinya, mesti terjadi suatu keselarasan antara iman dan penghayatan dalam hidup sehari-hari. Namun yang terjadi bertahun-tahun adalah orang berdevosi kepada Allah di permukaan saja. Ada suatu gap yang dalam antara iman dan penghayatan hidup sehari-hari. Karena itu, dibutuhkan suatu inkulturasi.
Di Kamerun, Afrika, misalnya, sebuah survei mengungkap bahwa hingga tahun 1980-an masih terjadi jurang yang begitu lebar antara penghayatan iman kristiani dan kebaktian-kebaktian.
Misalnya, umat katolik pada pagi hari beribadat di gereja dengan sangat khusyuk, tetapi pada malam harinya mereka melakukan praktik-praktik perdukunan. Pagi hari berdoa dengan penuh iman, tetapi ketika berada di kantor orang melakukan tindakan korupsi terhadap uang rakyat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut sejumlah sumber, hal ini terjadi karena tradisi-tradisi atau budaya yang dibawa oleh para misionaris dari Eropa begitu saja diterapkan dalam kehidupan beriman umat.
Pada tahun 1984 dilaksanakan sinode para uskup Afrika, sebuah rapat umum para uskup Afrika. Hasilnya dimulai suatu gerakan inkulturasi, yaitu upaya menggali nilai-nilai Injil dari budaya setempat yang baik untuk menjadi langkah pijak bagi penghayatan iman umat. Nilai-nilai positif dari budaya setempat menyumbang kekayaan iman bagi hidup umat.
Pater Joseph Kuate SCJ dari Kamerun dan Pater Carlos da Cunha Sousa Lobo SCJ dari Mozambik mengatakan bahwa 10 tahun setelah Sinode Para Uskup Afrika terjadi suatu perubahan besar dalam hidup beriman. Mereka mengatakan, liturgi di Afrika diperkaya oleh kekayaan tradisional dalam bidang musik dan nyanyian yang hidup di lingkungan umat. Meski begitu, inkulturasi yang terjadi dalam bidang liturgi perlu melihat batasan yang telah ditentukan oleh Gereja.
Berhadapan dengan budaya setempat, dibutuhkan adaptasi dalam pewartaan Injil. Dalam Hal ini sesuai dengan semangat Pater Dehon, pendiri Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus, yang mengatakan bahwa semangat mewartakan Injil dapat meneladan semangat Santo Paulus.
Hal ini termuat dalam suratnya kepada Jemaat Galatia 2:20, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku.”
Berkenaan dengan hidup para imam SCJ atau Dehonian, Pater Joseph mengatakan bahwa mereka mengutamakan hidup berkomunitas sebagai tujuan. Dehonian dipanggil menuju hati yang terbuka, mewartakan cinta kasih dan semangat berkorban. “Kami memiliki sikap solidaritas untuk membangun semangat kerjasama,” kata Pater Joseph Kuate.
“Kita diajak untuk sampai pada sikap saling mengampuni,” tambah Pater Lobo SCJ.
Untuk itu, hidup rohani (spiritualitas) yang dikembangkan mesti senantiasa bersumber dari Yesus yang hidup dalam kenyataan sehari-hari pada zamannya. Yesus mengalami lapar dan haus seperti manusia pada zamannya. **
Naskah berita dikerjakan tandem oleh Fr. Maximilianus Puang SCJ dan Fr. Carolus Bravery SCJ.
PS: Peliput berita ini adalah para frater SCJ.