Renungan Harian
Minggu, 2 Mei 2021
Hari Minggu Paskah V
Bacaan I: Kis. 9: 26-31
Bacaan II: 1Yoh. 3: 18-24
Injil: Yoh. 15: 1-8
DALAM sebuah retret, saya mengatakan bahwa retret ini merupakan saat masing-masing dari kita untuk melihat diri sendiri dan merefleksikan pengalaman perjalanan hidup masing-masing. Keberhasilan retret bukan tergantung dari saya, tetapi tergantung dari keterbukaan dan kesediaan masing-masing dari kita untuk melihat dan merefleksikan hidup.
Pada malam pertama ada seorang bapak guru yang meminta waktu untuk berbicara. Ia masih muda, guru baru, dan baru lulus sarjana keguruan.
Ia bercerita bahwa dia dan adik perempuannya mempunyai luka yang amat dalam dengan orangtuanya. Mereka berdua merasa sebagai anak yang dibuang oleh kedua orangtuanya, karena sejak kecil dititipkan ke nenek mereka.
Sedang orangtuanya tidak tahu kemana. Baru akhir-akhir ini mereka tahu bahwa kedua orangtuanya menjadi TKI di Malaysia.
Saya bertanya selama tinggal dengan nenek siapa yang membiayai hidup mereka. Sejak kecil mereka tahu bahwa mereka hidup dari hasil sawah nenek yang digarap oleh para penggarap, karena neneknya sudah tidak kuat lagi untuk menggarap sawah. M
asih menurut bapak guru itu, bahwa semua biaya hidup dan pendidikan hingga lulus kuliah dan adiknya masih kuliah berasal dari sawah neneknya yang cukup luas.
Baru akhir-akhir ini, mereka tahu bahwa orangtuanya selalu mengirim uang ke neneknya dan kemudian dibelikan sawah untuk membiayai hidup mereka.
Bapak guru itu dan adiknya satu pihak tahu bahwa mereka hidup dari hasil keringat keduaorang tuanya, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa mereka sejak kecil tidak pernah bertemu dengan kedua orangtuanya.
Perasaan dibuang itu lebih dominan dan itu amat menyakitkan.
Saya mengajak untuk mengolah rasa sakit itu dengan melihat dan merenungkan kenyataan yang dihadapi orangtuanya. Kedua orangtuanya pergi menjadi TKI dan menitipkan kedua anaknya ke nenek mereka.
Tentu dengan harapan anak-anaknya dapat hidup lebih layak, dan mempunyai masa depan yang lebih baik. Kiranya oran tua tidak akan mudah meninggalkan anak-anak mereka, pasti ada luka yang mendalam.
Tetapi pilihan itu diambil demi kebahagiaan anak-anaknya.
Benar bahwa bapak guru itu dan adiknya tidak mendapatkan kasih sayang orangtua sebagaimana teman-teman lain.
Benar bahwa anak-anak butuh kasih sayang kedua orangtua. Bukan hanya soal materi, tetapi cinta yang besar pada anak-anaknya membuat kedua orangtua mengambil keputusan yang amat berat.
Pada akhir retret, bapak guru itu menangis dan merasa berdosa dengan kedua orangtuanya, karena selama ini telah membencinya.
Selama retret ia mengalami dan merasakan betapa cinta orangtuanya yang begitu besar terhadap dirinya dan adiknya. Pengorbanan yang luar biasa telah dibuat orangtuanya.
Ia sadar, tidak pernah ada kata cinta dan belaian kasih sayang dari kedua orangtuanya. Tetapi keputusan orangtuanya telah menunjukkan kasih sayang luar biasa bagi dirinya dan adiknya.
“Syukur pada Allah, bapak bisa melihat pengalaman luka yang amat dalam menjadi pengalaman cinta. Semoga pengalaman ini menjadi motivasi besar untuk menjalani perjalanan hidup yang lebih baik, membanggakan kedua orangtua,” kata saya menutup perjumpaan malam itu.
Sudah barang tentu perjuangan yang luar biasa bagi bapak guru itu untuk bisa mengolah pengalaman hidupnya.
Ia bisa mengalami cinta orangtuanya yang selama ini baginya adalah kebencian karena menelantarkan. Cinta bukan soal kata-kata dan belaian semata, tetapi pemberian hidup dan kebahagiaan bagi yang dicintainya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat Yohanes Yang Pertama: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
Bagaimana dengan aku? Adakah aku telah mencintai dengan perbuatan?