BEGITU melihat kami datang, matanya berkaca-kaca. Rasa haru merebak dalam pandangannya.
Mata tua itu terus memandangi kami. Entah apa yang ada di benaknya. Namun, terasa ada rindu terpendam ingin berjumpa dengan kakak yang ia kasihi, almarhum Sr. M. Yohanna FSGM.
Di belakang teras rumah. Di situ kami bertemu dan saling menyapa. Perempuan 77 tahun itu bernama Florentina Senen.
Ada sinar rona bahagia di wajahnya yang keriput saat kami berkunjung. Usai sapaan dan salam jumpa, Florentia memerhatikan satu demi satu tanda kasih yang kami bawakan khusus untuknya.
“Ha… ini ada tissue basah, balsem gosok, hand sanitizer, dan minyak kayu putih. Wah ini saya pakai semua. Terimakasih banyak ya,” ujarnya senang.
Itulah ungkapan spontan rasa syukur yang keluar dari hati seorang ibu yang sederhana ini.
Kunjungi keluarga suster
Hari Kamis, 21 Januari 2021 lalu, kami mengunjungi beberapa orangtua dan keluarga para suster Kongregasi FSGM yang sudah berstatus lansia dan sakit.
Kunjungan khusus ini dalam rangka memperingati Hari Orang Sakit Sedunia (HOSS), yang dirayakan setiap tanggal 11 Februari.
Tahun ini, Klinik Utama Rawat Inap St. Maria Metro sudah mencanangkan program berkunjung ke rumah orangtua para suster yang sudah lanjut usia dan sakit.
Karena banyak yang harus dikunjungi, maka kunjungan dibuat secara bergelombang sesuai perjalanan rute rumah.
“Tahun ini, di tengah pandemi Covid-19, kami tetap melakukan kebiasaan baik ini meski tidak sebanyak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya setiap tahun kami kunjungan ke rumah pasien dan para lansia,” jelas Sr. M. Fransisko, pemimpin KURI St. Maria.
“Buah tangan sebagai tanda kasih yang kami bawa itu dikemas sederhana. Namun, di dalamnya ada satu yang membuat menjadi luar biasa. Yakni: cinta,” tambah Sr. M. Fransisko FSGM dengan tersenyum.
Setetes cinta
Cinta. Satu kata yang dikatakan Sr. M. Fransisko FSGM tadi, saya sangat menyetujuinya.
Segala sesuatu yang tampaknya sederhana dan biasa saja, dapat berubah menjadi luar biasa bila dilakukan dengan cinta. Hati yang penuh cinta dapat menyembuhkan segala penyakit. Itu adalah obat.
Di sana ada ketulusan, sukacita, dan doa.
Cinta itu menghidupkan.
Tukang martabak mati tak ketahuan
Jadi teringat olehku cerita kecil dari seorang pastor saat makan pagi bersama di biara. Pastor itu mengatakan kalau kemarin pagi di kantornya ada peristiwa yang mencengangkan.
“Pagi itu seluruh ruangan kantor tercium bau bangkai. Kami semua sibuk mencari penyebab bau bangkai itu,” ujar pastor.
Akhirnya ditemukan kalau bau bangkai itu berasal dari luar kantor. Seorang penjual martabak telah meninggal dunia dan jasadnya sudah membusuk.
Terbayang olehku bagaimana ia menyambut Sang Maut dalam kesendirian dan kesepian. Mungkin ia sakit, kelaparan, atau kedinginan saat itu.
Tiada orang tahu dan peduli.
“Kasihan… ia meninggal kesepian. Tanpa cinta,” ujarku spontan.
Cerita pastor itu menginspirasi saya akan karya pelayanan kasih Mother Teresa.
Salah satu yang dilakukannya, Mother Teresa memberikan cinta kepada orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki harapan hidup.
Ia menggendongnya. Ia juga memberi sesuap nasi atau setetes air. Itulah tetesan cinta yang direguk dan dinikmati seseorang yang hampir meninggal karena miskin dan sakit.
Bagi Mother Teresa apa yang dilakukan itu, tak ada yang sia-sia meski dalam hitungan menit Sang Pencipta akan memanggilnya.
Mother Teresa ingin agar setiap orang merasa dicintai, dihargai, dan mengalami kasih.
“Menjadi orang yang tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan, dilupakan oleh semua orang, saya pikir itu adalah kelaparan yang jauh lebih besar, kemiskinan yang jauh lebih besar daripada orang yang tidak punya apa-apa untuk dimakan.” (Mother Teresa).