Atapnya menjulang tinggi, jauh lebih tinggi daripada semua bangunan di sekitarnya. Pun ia berdiri tegak terpisah rumah yang lain. Ia berdiri sendiri, tanpa bergandengan dengan yang lain. Ia diam. Ia bisu. Sekadar menjadi penanda yang mencolok di Jalan Ahmad Yani-Jalan Merdeka.
Tidak ada kehidupan yang memusat di gedung megah ini. Juga tidak ada derap kehidupan yang dipengaruhinya. Sungguh, ia memiliki kehidupannya sendiri.
Ia terlalu megah untuk menampung mama-mama yang bertelanjang kaki. Ia pun terlalu tinggi untuk menunduk pada anak-anak kecil pemulung kaleng. Mungkin, ia juga terlalu suci untuk para pemabuk. Juga, hatinya terlalu dingin untuk bisa turut menangis bersama dengan keluarga-keluarga yang kehilangan anak mereka.
Pagi itu, didapati salah satu jendela kaca patri itu remuk ditembus batu… Mungkin batu itu adalah ungkapan kemarahan seorang pendosa yang berharap menemukan Tuhan di gedung megah itu, tapi ternyata Tuhan tidak di sana.
Entahlah. Aku hanya menerka-nerka.
Orang yang tidak bisa membangun manusia, dia akan memilih membangun gedung megah. Mungkin itu lebih mudah…tetapi kalau bisa membangun keduanya agar sama-sama megah.