Dia sudah tidak pedulikan lagi kelelahan fisiknya setelah sepuluh jam berkendara dan sekarang mau menempuh jarak ratusan kilometer lagi ke kampung hanya untuk Joni. Aku melihat, besarnya cinta sejati seorang ibu kepada anaknya dalam diri kerabatku. Beliau berjuang entah bagaimana caranya supaya Joni bisa bersamanya, perjuangan seorang ibu yang tak kenal lelah dan tak meminta balas. Seandainya aku berada di posisi kerabatku, pastilah aku sebagai seorang ibu akan berbuat yang sama untuk anak-anak kandungku.
Keluarga menolak
Salah seorang anggota keluarganya mengkritik sikap kerabatku itu dengan teramat pedas, ”Biarkan saja anakmu itu biar tahu rasa… Jangan manjakan dia,” begitu komentarnya.
Sementara yang lainnya secara sinis menanggapi masalah ini. ”Buat apa si Joni di jemput lagi? Dia bisa kok keluyuran sampai pantai, mosok hanya pergi ke kota ini dia tidak berani? Itu mah jago kandang namanya,” kata yang lain lagi.
Kenapa semua orang menghakimi Joni? Mungkin dia salah. Tapi menurutku, ada cara lebih bijak untuk mengajaknya sadar tentang perbuatannya. Kita tidak tahu kelak apa yang terjadi apabila kita tidak menjemputnya… Mungkin dia bisa frustasi lalu terkapar menjerumuskan dirinya. Lebih menyesallah kita.
Merawat jiwa
Diam-diam kuberi ongkos kepada kerabatku ”…Uti…(sebutan akrabku kepada kerabatku) … Ini uang terimalah.. Pergilah jemput Joni. Hati-hati di jalan”.
Kerabatku terharu memelukku. Mungkin beliau merasa ternyata ia tidak sendirian…. Malam itu juga berangkatlah kerabatku ke kampung menjemput Joni.
Huuft..!
Kubuka buku Puji Syukurku. Kuangkat hatiku memuji Dia Yang Maha Sabar, Maha Lembut, Maha Penyayang dan Maha Tahu. Betapa seribu dosa pun tidak akan mampu memisahkan jiwa manusia dari PenciptaNya.
Joni…Joni…we welcome you….. for a thousand times you need. (Selesai)