Mengapa Barat menjuluki proses politik dengan agenda utama melengserkan para penguasa dengan sebutan manis: the Arab Spring?
Alam pikir empat musim
Alam pikir masyarakat Barat yang mengenal empat musim memang senantiasa tak bosan bicara tentang musim. Winter dalam benak mereka identik dengan “hari-hari panjang yang tidak nyaman” karena harus pakai baju tebal, malam lebih panjang dibanding siang dan minim sinar matahari. Fall mengacu pada suasana muram, karena pepohonan menjadi gundul; tiada pemandangan alam yang memikat selain dahan-dahan menjadi gundul. Summer adalah keceriaan dimana matahari bersinar lebih panjang hingga siang menjadi lebih lama dibanding malam. Summer adalah saat tepat untuk menikmati hari-hari panjang dengan traveling atau berjemur.
The Arab Spring barangkali mengacu pada analogi musim dan alam pikir seperti itu. Dunia Barat dengan kekuatan pengaruh media massa untuk menciptakan public opinion sudah berhasil mendiktekan gagasannya tentang ‘lahirnya era baru’ yakni the spring in the Arab World di tiga negara besar: Tunisia, Mesir, dan Libya.
Teori Domino
Sangatlah mungkin, mengikuti teori efek domino the Arab Spring akan bergeser menuju Yaman, Syiria, dan –siapa tahu—bergerak juga ke arah Timur: Iran. Semua negara ini –menurut kacamata Barat—dianggap terlalu lama dicengkeram oleh penguasa dan kurang bersahabat dengan Barat. Jadi, the Arab Spring seyogyanya juga digelorakan melalui arus bawah.
Tumbangnya Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak, dan Presiden Libya Kolonel Muamar Khaddafi telah membuktikan, kekuasaan di tangan para diktator bisa digoyang melalui people’s power. Diktator Presiden Filipina Ferdinand Marcos tumbang karena gerakan people’s power. Pun pula Presiden Suharto rela lengser keprabon setelah people’s power berseru keras agar the Smiling General ini sebaiknya turun sebelum terjadi pertumpahan darah antarsesama anak bangsa.
Tapi dari mana sebenarnya gerakan the Arab Spring ini bermula?
Tunisia menjadi lokasi darimana the Arab Spring awalnya bersemi. Pemicunya sederhana: seorang pedagang buah bernama Muhammad Al Bouazizi memrotes perlakuan sempitnya lapangan kerja di Tunisia dengan cara yang tidak biasa. Seperti para bhiku di Tibet yang berani melakukan aksi bakar diri sebagai tanda protes, Muhammad Al Bouazizi juga melakukan protesnya secara demonstratif dengan membakar diri.
People’s Power
Muhammad Al Bouazizi akhirnya mati mengenaskan karena luka bakar. Namun, ide gilanya telah mengilhami ribuan masyarakat Tunisia yang memprihatinkan sempitnya lapangan kerja dan hidup dalam kemiskinan sementara Sang Presiden hidup foya-foya di istana.
Dalam waktu singkat, people’s power pun menggelora hebat di jalan-jalan Tunisia mulai Desember 2010. Presiden Ben Ali yang memerintah negerinya sejak tahun 1987 melalui kudeta terpaksa melarikan diri ke Saudi Arabia minta suaka politik pada tanggal 4 Januari 2011. Namun, pengadilan Tunisia memvonisnya secara in absentia dengan hukuman penjara selama 35 tahun atas kejahatannya: korupsi. (Bersambung)