Home BERITA The 7th Asian Youth Day 2017: Jadilah Saksi Kemuliaan Tuhan di Keseharian...

The 7th Asian Youth Day 2017: Jadilah Saksi Kemuliaan Tuhan di Keseharian Hidup, Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo di Puncak Acara AYD7

0
Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo menyemati kaum muda Asia di acara puncak AYD7 agar menjadi saksi kemuliaan Tuhan di tengah kelompok baya dan masyarakat. Pesan ini disampaikan di misa konselebrasi di Lapangan AAU Yogyakarta, Minggu 6 Agustus 2017 (Mathias Hariyadi)

BERIKUT ini adalah teks homili Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo yang dipaparkan sebagai bahan refleksi sekaligus catatan komprehensif tentang bagaimana mesti memaknai peristiwa-peristiwa berbagai perjumpaan antar sahabat OMK seluruh peserta the 7th Asian Youth Day 2017. Paparan ini disampaikan saat misa meriah bersama  empat orang kardinal, para uskup Asia dan Indonesia di Lapangan Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Minggu 6 Agustus 2017.

Keempat kardinal yang ikut berpartisipasi di misa konselebrasi acara puncak AYD7 ini adalah Julius Kardinal Darmaatmadja SJ (Indonesia), Kardinal Tagle (Filipina), Kardinal Patrick D’Rozario (Bangladesh, Ketua Departemen Urusan Awam dan Keluarga FABC), dan Kardinal Cardinal Oswald Gracias (Uskup Agung Mumbai-India, Ketua FABC)

—————–

Para Bapak Kardinal (Eminences),
Para Bapak Uskup (Excellencies)
Para imam, biarawan, biarawi
Ibu/Bapak, saudari-saudara terkasih,
Khususnya kaum muda peserta AYD yang berbahagia.

Pada hari ini kita mengakhiri AYD. Penutupan ini jatuh pada Hari Raya Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Saya tidak tahu persis apakah ketika menentukan hari-hari AYD ini Panitia memang merencanakan untuk menutup pertemuan ini pada Hari Raya Yesus menampakkan kemuliaan-Nya.

Apa pun halnya, saya yakin bahwa ini adalah penyelenggaraan ilahi : kita diajak untuk merenungkan secara khusus kaitan antara orang muda Asia dengan penampakan kemuliaan Tuhan. Kaitan itu jelas dalam tema yang ditawarkan pada penutupan AYD ini : “Menghayati dan Membagikan Sukacita Injil”.

Kalau kita sungguh menghayati nilai-nilai Injil dan mengalami kegembiraan dari padanya, hidup kita sehari-hari akan menjadi penampakan kemuliaan Tuhan.

Mengapa saya mengatakan demikian? Ketika saya menyiapkan ibadah ini, membaca kisah Injil mengenai Yesus yang menampakkan kemuliaan-Nya, yang masuk dalam diri saya adalah kisah mengenai Santa Teresia Benedicta dari Salib (St. Theresia Benecita of the Cross). Ia lahir dengan nama Edith Stein (1891-1942). Edith Stein melihat dan mengalami kemuliaan Tuhan serta kekuatan-Nya dalam diri temannya. Kisahnya amat menarik.

Sebagai remaja berusia 14 tahun yang dikarunia kecerdasan istimewa, Edith meskipun lahir dalam keluarga yang amat saleh, sampai pada kesimpulan bahwa Allah tidak ada. Ia tidak mempunyai alasan lagi untuk percaya. Ia menulis, “Dengan sadar saya memutuskan, atas kemauan saya sendiri, untuk berhenti berdoa”.

Selanjutnya ia belajar menjadi prawat, untuk membantu korban Perang Dunia pertama. Sesudah itu ia belajar filsafat karena cita-citanya adalah menjadi ahli filsafat. Sampai pada suatu hari, ia berjumpa dengan seorang sahabatnya yang suaminya baru saja meninggal. Edith yang jiwanya selalu mencari, sangat tersentuh oleh “ketabahan, daya/kemuliaan ilahi” yang tampak pada diri temannya itu.

Ia menulis “Inilah pertama kalinya saya berjumpa dengan salib dan daya kekuatan ilahi yang diberikan kepada orang yang memikulnya … inilah saat ketika ketidak-percayaan saya runtuh dan Kristus mulai memancarkan sinar dalam diri saya” (This was my first encounter with the cross and the divine power it imparts to those who bear itu – it was the moment when my unbeliref collapsed and Christ began to shine His light on me”.

Singkat cerita, Edith dibaptis pada tahun 1922 yang dia kenang sebagai pemenuhan kerinduan dan pencariannya yang paling dalam. Selanjutnya kita tahu, Edith masuk pertamaan Karmel dengan nama Suster Theresa Benedicta dari Salib. Sebagai keturunan Yahudi, dia diangkut ke Kamp Konsentrasi di Auschwitz (kini masuk wilayah Polandia) dan meninggal di kamar gas di sana. Ia mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus sendiri secara sempurna.

Pada tanggal 1 Mei 1987 Paus Yohanes Paulus II menyatakannya sebagai beata. Selanjutnya pada tanggal 11 Oktober 1998 Paus yang sama menyatakannya sebagai Santa.

Perjumpaan Edith Stein dengan temannya yang baru saja kehilangan suami, saya pahami sebagai saat ketika Kristus menampakkan diri, menampakkan kemuliaan-Nya kepadanya. Penampakan itu terjadi pada saat yang tidak terduga dan dalam peristiwa manusiawi yang dalam arti tertentu amat biasa.

Perjumpaan Edith Stein dengan temannya itu membukatikan kebenaran kata-kata Santo Ireneus: “Gloria Dei, vivens homo”, artinya, kemuliaan Tuhan adalah manusia yang hidup – tentu bukan asal hidup, tetapi hidup yang bermakna. Pengalaman itu mengubah seluruh arah hidupnya : ia bercita-cita untuk menjadi ahli filsafat, tetapi Tuhan menuntunnya menuju kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan kasih melalui jalan salib yang disambutnya dengan sepenuh hati.

Homili tentang kesaksian hidup Edith Stein alias St. Benedicta dari Salib dan calon katekumen di sebuah paroki di KAS. (Mathias Hariyadi)

Saudari-saudara yang terkasih,

Khususnya kaum muda yang berbahagia,

Mungkin kita berpikir, Santa Teresa Benedikta dari Salib terlalu jauh dari kita. Saya juga mempunyai pengalaman yang lebih sederhana dengan muatan pesan yang serupa. Suatu hari saya berkunjung ke salah satu paroki. Waktu itu Pastor Paroki sedang menguji calon baptis. Sesudah selesai menguji para calon, Pastor itu menceritakan pengalamannya yang menarik.

Salah seorang calon yang ingin dibaptis adalah seorang bapak yang sudah lanjut usia. Pastor itu bertanya kepadanya, “Mengapa Bapak ingin dibaptis ke dalam Gereja Katolik?”.

Jawaban yang diharapkan tentu saja adalah seperti yang terdapat dalam katekismus, misalnya “Karena saya percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia”. Kalau Bapak itu memberikan jawaban seperti itu, pasti dia lulus.

Tetapi, di luar dugaan, Bapak itu menjawab dengan sangat jujur, “Saya ingin dibaptis, karena saya senang sekali melihat orang katolik pulang dari gereja”. Jawaban itu tentu mengagetkan Pastor penguji itu, karena jawaban seperti itu tidak pernah diajarkan dan tidak ada dalam katekismus.

Lalu Pastor bertanya lebih lanjut “Mengapa umat katolik yang pulang dari gereja membuat Bapak senang?”. Jawaban Bapak itu, “Mereka kelihatan rukun, bapak/ibu/anak pulang bersama-sama”. Rupanya Bapak itu berasal dari latar belakang yang tidak mengenal satu keluarga berangkat ibadah bersama-sama. Kelihatan rukun saja sudah membuat Bapak itu tertarik, apalagi kalau sungguh-sungguh rukun.

Saya yakin saya tidak salah kalau saya mengatakan bahwa Bapak itu melihat “kemuliaan Yesus” dalam keluarga yang pulang dari gereja, yang kelihatan rukun itu. Hal yang samasekali tidak istimewa, sangat biasa tetapi dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya yang mengubah hidup orang.// Kemuliaan Tuhan yang mempunyai daya membaharui hidup, terpancar dalam pribadi-pribadi yang bersaudara dan keluarga yang dipersatukan oleh kasih.

Dalam Asian Youth Day ini, kita menyadari keberbedaan kita : kita adalah warga negara yang berbeda, bahasa kita berbeda, budaya kita berbeda dan sekian banyak perbedaan yang lain. Namun dalam perjumpaan ini kita juga mengalami bahwa keberbedaan itu tidak memisah-misahkan, tetapi sebaliknya, memancarkan kekayaan kemanusiaan yang satu dan membuktikan kekuatan iman, harapan dan kasih yang mempersatukan.

Semoga perjumpaan dalam Asian Youth Day ini mendorong kita semua, baik secara pribadi maupun dalam kebersamaan kaum muda, untuk berusaha menghayati nilai-nilai Injil dengan tekun dan setia. Semoga dengan demikian kepada kita dianugerahkan rahmat kegembiraan karena Injil. Dan semoga dengan demikian hidup kita dapat memancarkan kemuliaan Tuhan, yang mempunyai daya membaharui kehidupan.

Tuhan memberkati kita  semua.

+ I. Suharyo

Sumber: Situs resmi AYD7 (www.asianyouthday.org)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version