SULIT membayangkan, seorang arsitek tidak suka berimajinasi dan menerawang jauh guna mensinkronkan ‘mimpinya’ dengan gambar struktur bangunan yang bisa diwujudkan oleh seorang insinyur teknik sipil. Tentang hal itu, sosok ‘arsitek’ ambisius dan egosentris bernama Miles Moss (James Frain) layak dikaji.
Film produksi tahun 2016 dengan judul The Architect ini menjelaskan karakter obsesif seorang arsitek bernama Moss yang beraliran modernist dengan sangat gemilang. Namun harus diingat bahwa di akhir film akan menjadi jelas bahwa Miles itu ternyata hanya ‘arsitek KW’ alias sok belagu menjadi seorang arsitek berkelas namun meniru karya orang lain.
Tarik ulur siapa yang mesti ‘dimenangkan’
Mari sejenak kita lupakan kebohongan yang memuakkan itu.
The Architect ini menarik karena mempertontonkan tarik ulur ketegangan antara seorang arsitek dengan klien yang membayar jasa kreativitasnya mencipta gambar struktur bangunan. Dalam hal ini, sosok Miles Moss sungguh menawan dengan gaya elegannya ‘merayu’ Drew (Parker Posey) agar bersedia mengikuti selera kreatifnya. Namun pada saat sama pula, Miles harus selalu bersitegang dengan Colin (Erin McCormack) dan sang mandor tukang yang akan mengerjakan ‘impian’ sang arsitek ini menjadi sebuah bangunan rumah sesuai model dan desain penggagasnya.
Serangkaian diskusi di antara ketiga pihak inilah ‘nyawa’ historis film komedi namun dengan bobot permenungan yang mendalam. Utamanya, konflik sangat intens yang sangat membetot emosi di balik tarik ulur pendapat antara sang arsitek dengan klien dan berikut tukang yang akan mengerjakan projek bangunan itu.
Ingat bahwa Miles Moss mengklaim dirinya sebagai seorang arsitek berkelas yang dengan bangganya selalu mengatakan hal ini: “As an architect, I have the job of transforming hopes and dreams into wood, glass, steel, and concrete, but if the dreams are not there, there’s very little I can do.”
Ungkapan ‘kesombongan’ dan rasa percaya diri berlebihan karena ego besar ini benar-benar membuat Drew terbuai, lantaran ia sendiri juga seorang ‘arsitek’ bidang melukis sketsa untu desain piring atau barang pecah belah lainnya. Karena itu, kedua orang itu cocok satu sama lain hingga akhirnya cinta kilat membuat mereka melenceng ke luar ‘tata krama’ hubungan relasional antara pemilik jasa dan kliennya.
Namun, bagi Colin yang merasa berduit, ocehan Miles Moss dia anggap sebagai ‘pelecehan’. Ia beranggapan, mestinya klien menjadi pihak yang diutamakan karena telah membayar jasa dan bukannya keinginan arsitek yang harus diakomodasi oleh sang pemilik modal. Konflik di antara keduanya di satu pihak dan perang ide antara Drew dan Colin menjadi nafas The Architect yang menggugah tanya: kita mesti ‘berpihak’ pada siapa?
Di akhir film yang mempertontonkan kekonyolan Miles sebagai ‘arsitek KW’ memperjelas posisi batin yang mesti disikapi penonton. Otoritas profesional Miles sebagai arsitek runtuh, begitu diketahui hasil ‘mimpi’ merancang struktur bangunan itu ternyata hanya produk kopas dari orang lain. Kita seakan lalu berpihak pada Drew yang mengikuti irama seninya sebagai perancang lukisan untuk desain keramik yang sangat mengutamakan variasi warna.
Karena itu, Drew ‘memotong’ gagasan Miles dan kemudian mengecatkan stuktur bangunan atas berbahan titanium dengan warna-warni –hal yang selalu ditentang oleh Miles. Sebaliknya, Colin memaksa agar tangga sebaiknya diberi railing dan di lantai atas diberi ruangan lebih untuk ‘penghuni baru’ yakni anak pasangan suami-isteri Colin dan Drew ini.
Atas semua ide ini, Miles Moss menolak mentah-mentah. Dan antara egosentrisme berbalut kesombongan dan kekonyolan Moss menghadapi pasangan Colin dan Drew inilah yang disajikan The Architect besutan sutradara Jonathan Parker sebagai tontotan dengan acting sangat cerdas dan menawan oleh James Frain, Posey dan McCormack.