Puncta 29.10.23
Minggu Biasa XXX
Matius 22: 34-40
SUATU kali ada turis asing pergi ke Jepang. Ia ingin membuktikan bahwa Jepang adalah tempat yang aman untuk berlibur.
Dengan sengaja dia meninggalkan HP di dalam Kereta Api Cepat: Shinkansen. Orang bilang jika di Jepang, barang yang hilang di tempat umum, akan kembali ke pemiliknya.
Ketika dia kembali ke hotel, tempat dia menginap. Dia bercerita kepada reseptionis hotel, bahwa ia kehilangan HP. Sang resepsionis menanyai apa merek HP-nya, warna dan tipenya.
Turis itu menjawab apa yang ditanyakan kepadanya. Kemudian sang resepsionis mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik. Ternyata itu adalah HP miliknya yang “tertinggal” di dalam kereta api tadi pagi. HP-nya kembali dengan aman.
Orang Jepang punya empati yang sangat tinggi. Maka negaranya aman dan sangat maju karena warganya dididik sejak kecil punya empati.
Empati adalah sikap “memposisikan diri saya sebagai dia.” Andaikan saya adalah dia yang sedang kebingungan, kesulitan atau mengalami kesedihan.
Itulah empati.
Orangtua, pimpinan atau tokoh yang dihormati memberi contoh kongkret kepada masyarakat. Misalnya, ada pimpinan yang ketahuan korupsi, ia lebih baik harakiri, bunuh diri daripada malu.
Pejabat yang gagal akan mundur karena dia memakai cermin rakyatnya. Wanita pulang malam terjamin keselamatannya, karena para pria berpikir, gimana kalau dia itu adik, anak atau isteri saya.
Orang selalu menempatkan diri jika saya ada di pihaknya. Dengan begitu rasa empati akan tumbuh.
The Golden Rule atau Aturan Emas atau Etika Timbal Balik adalah suatu bentuk empati.
“Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Itulah yang diajarkan Yesus.
Ajakan Yesus itu melampaui rumusan atau aturan negatif yang diajarkan sebelumnya. Jangan melukai kalau kamu tidak ingin dilukai.
Yesus merumuskan secara positif dan aktif menjadi suatu tindakan kongkret kepada orang yang butuh pertolongan. Ia membuat contoh tentang orang Samaria yang baik hati.
Kepada ahli Taurat yang bertanya, Yesus berkata, “Pergilah, dan perbuatlah demikian.”
Yesus menekankan tindakan positif yang membawa manfaat bagi sesama, bukan sekedar menahan diri dari tindakan negatif yang merugikan orang lain.
Beda dengan di Indonesia, setiap kali terjadi demonstrasi, atau kerumunan massa, sampah berserakan di mana-mana, taman kota rusak, pos polisi dibakar, halte bus dan fasilitas publik hancur.
Mereka itu belum bisa membangun saja sudah pandai merusak. Tidak ada empati. Tidak ada rasa memiliki.
Maka Ibu Risma, waktu itu Walikota Surabaya pernah marah dan gemas kepada pendemo.
“Kenapa kamu rusak kotaku, kenapa kamu gak rusak kotamu sendiri. Aku belain wargaku setengah mati,” seru Risma dengan suara bergetar kepada pendemo yang merusak kota Surabaya.
Marilah kita mengasihi sesama sebagai wujud mengasihi Tuhan. Begitu pula sebaliknya, jika kita mampu mengasihi Tuhan, kita juga bisa mengasihi sesama.
Naik Kaliurang melihat Gunung Merapi,
Menikmati awan jingga diterpa sinar senja.
Mari kita bangun semangat empathy,
Mengambil posisi di dalam diri sesama kita.
Cawas, mengasihi Tuhan dan sesama