Suatu kawasan daerah wisata kuliner dimana berjajar banyak rumah makan di sepanjang jalan adalah hal yang wajar. Tetapi pemandangan semacam ini sangat tak wajar dalam film The Hundred-Foot Journey.
Perang dingin dua restoran
Hanya terdapat sebuah restoran berkelas di suatu kota kecil sepi di Perancis. Semua warga mengakui kelas dari ‘Le Saule Pleureur’, sebuah restoran khas makanan Perancis. Bertahun-tahun restoran ini dikelola oleh seorang janda bergaya ningrat, Madame Mallory (Helen Mirren). Restoran ini menjadi penguasa tunggal lidah warga kota itu.
Mendadak berdiri ‘Masion Mumbai’, rumah makan khas masakan India. Dua restoran ini berhadap-hadapan. Le Saule Pleureur sangat Prancis. Ia berkiblat pada lidah Eropa. Restoran ini tampil elegan dan terlihat tenang. Aroma yang keluar dari dapurnya pun lembut. Sementara Masion Mumbai tampil dengan corak meriah. Ia syarat dengan alunan musik India yang menggelegar. Aroma dari dapur Masion Mumbai pun tajam dan menyengat.
Alhasil terjadilah perang dingin antara Madame Mallory beserta pasukan restorannya melawan papa Kadam (om Puri) pemilik Masion Mumbai. Mereka balas-membalas dengan sabotase bahan masakan dari pasar. Keduanya mempromosikan secara gencar menu masing-masing. Sampai-sampai mereka membawa konflik ini ke kepala pemerintahan setempat.
Makanan dan identitas
Sangat kentara sekali bahwa film The Hundred-Foot Journey arahan Lasse Hallstrom berbicara tentang makanan dan identitas suatu bangsa. Karakteristik makanan dari restoran Perancis menunjukkan orang yang senantiasa teratur, rapi dan mengikuti protocol tertentu. Seseorang akan memiliki kelas tinggi bila masuk dalam lingkungan semacam itu. Sedang restoran India yang memiliki chef handalan yakni Hassan (Manish Dayal), menampilkan suasana ramai, pesta rakyat, gembira dan spontan.
Perbedaan kedua restoran yang hanya berjarak 100 langkah tersebut ketika semakin diekspos dan untuk saling menggungguli yang terjadi adalah chaos.
The hundred Foot journey justru mengajak para pemirsa untuk terus mengapresiasi kekhasan makanan masing-masing restoran tersebut. Soal cita rasa bukan untuk dipertandingkan namun untuk dinikmati oleh lidah.
Sisi lain film
Di balik kisah dua restoran tersebut, pemirsa akan menemukan perjuangan para imigran India yang berjuang untuk hidup. Nasib buruk menimpa keluarga mereka di Mumbai. Tetapi dengan berbekal kemampuan memasak, keluarga ini bertahan hidup. Mereka pergi ke Inggris lalu kemudian ke Perancis. Keluarga ini bisa saja mewakili ribuan keluarga dari Dunia Ketiga yang hijrah ke daratan Eropa untuk bertahan hidup.
Selain itu, kehidupan keluarga Papa Kadam memotret suatu nasionalisme yang dibungkus dengan lidah. “Kita harus bangga dengan makanan bangsa kita. Makanan India pun klassik.” Namun Madame Mallory pun menampilkan nasionalisme terhadap negaranya dengan mendengungkan kembali semangat revolusi perancis: Liberté, égalité, fraternité”. Namun akhirnya toh kedua kubu ini berkonfrontasi untuk tidak hidup dalam fanatisme yang sempit. Nyatanya kontribusi masing-masing perbedaan mampu menciptakan simponi apik antara dua restoran.
Ada lain dalam film dan itu ditampilkan oleh Hassan. Hassan yang secara diam-diam belajar pada Marguerite (Charlotte Le Bon), asisten chef dari restoran Le Saule Pleureur bermimpi bisa duduk dalam rangking atas jajaran chef ampuh di Perancis. Marguerite pun demikian. Kesempatan direbut oleh Hassan sehingga ia bisa pergi ke Paris untuk menjadi chef kondang. Hasil eksperimen menunya telah booming. Dalam waktu singkat ia jadi chef populer.
Tetapi di tengah kesuksesannya, ia kehilangan roh seorang pemasak ulung, yakni pergi ke pasar, menawar harga sayuran, belanja bahan masakan, memasak dengan orang yang dikasihi dan menikmati kekeluargaan berkat masakannya. Semua roh itu tak ia dapatkan di Paris. Kembalilah ia ke keluarganya.
“Kendati kamu pergi mengelilingi dunia, kamu tidak bisa berbohong kalau kerinduanmu satu, makan masakan khas dari negeri asalmu.” Itulah konklusi dari The Hundred-Foot Journey. Makanan, identitas dan kebersamaan adalah hal yang tak bisa dipisahkan.