DI zaman modern seperti sekarang ini, penguasa tiran sebaiknya segera turun tahta atau menyingkir menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat—pemegang hak daulat demokrasi. Kalau tidak, maka sekali waktu tirani itu akan runtuh oleh kecongakan dan rasa percaya diri yang berlebihan.
Sayangnya, Presiden Snow (Donald Sutherland), penguasa tiran Capitol, dan Presiden Coin (Julianne Moore), penguasa Panem dan pemimpin kaum pemberontak melawan Capitol, lupa akan adagium di atas. Ujung-ujungnya, mereka berdua mati di tangan pejuang perempuan nan tangguh: Katnis Everdeen (Jennifer Lawrence).
Itulah intisari benang merah kisah film anyar yang membuat semua orang penasaran dan kemudian ingin nonton: bagaimana cerita lanjutan film serial The Hunger Games: Mockingjay Part 2?
Dalam film ini jelas sekali, pemain watak sekaliber Philip Seymour Hoffman harus tamat sesuai nasib malang yang menimpa dirinya: meninggal dunia. Presiden Snow mati dikeroyok oleh para pemberontak, sementara Presiden Coin mati oleh panah Katniss –sesuatu hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya yakni bahwa Katniss mengarahkan ujung mata panah ke arah dirinya daripada Presiden Snow.
Ketamakan dan nafsu berkuasa Presiden Snow berakhir di sini. Pun pula, maksud-maksud jahat Presiden Coin yang diam-diam dia sembunyikan dari Katniss berakhir tragis oleh tajamnya mata anak panah.
Dibandingkan dengan serial Hunger Games sebelumnya, seri terakhir ini memang kurang greget denting action-nya. Kisahnya lebih mendatar dan terlalu berlama-lama dalam urusan dialog antara Katniss dan Peeta. Mereka berdua mencoba meluruskan hubungan antar pribadi yang semula terkena ‘racun’ amnesia. Peeta menunduh Katniss sebagai anjing pembunuh, sementara Katniss menjaga jarak jangan-jangan dalam diri kekasihnya Peeta ini tersembul mahkluk mutant haus darah.
Di ujung cerita, keduanya hidup bahagia sebagai suami-istri dengan dua anak yang lucu-lucu. Karenanya, Hunger Games: Mockingjay Part 2 lantas dikemas dengan prinsip happy ending.
