RUMAH berlantai dua itu terletak di tepi jalan raya; tepatnya di Jl. Wijaya IX/12. Lokasinya hanya “selemparan batu” jauhnya dari kawasan perbelanjaan Blok M dan Melawai. Butuh waktu hanya lima menit dengan berjalan kaki dari Blok M menuju lokasi The Purnomo Yusgiantoro Center atau PYC.
Di banyak kesempatan dan tulisan, nama The Purnomo Yusgiantoro Center tak jarang disebut hanya dengan sebutan singkat: The Center.
PYC atau The Center kini eksis sebagai identitas untuk sebuah lembaga riset dan pusat studi di bidang energi, sumber daya mineral, pertahanan dan keamanan. Pembesutnya PYC adalah Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro Ph.D, pakar perminyakan dan ahli bidang energi dan sumber mineral serta isu-isu pertahanan dan keamanan.
Kini, di rumah berlantai dua di mana PYC ini berkantor sudah tersaji berbagai paparan dalam bentuk visual, grafis, tulisan yang semuanya merupakan hasil riset dan studi komprehensif mengenai empat bidang sektor penting dalam kehidupan sebuah bangsa. Yakni, energi dan sumber daya mineral, pertahanan dan keamanan, serta yang juga tak boleh ditinggalkan adalah dokumentasi kegiatan melestarikan khasanah budaya dan tradisi lokal khas milik bangsa.
Di bulan Juni tahun 2019 ini, PYC genap merangkai usia tiga tahun, sejak The Purnomo Yusgiantoro Center resmi eksis mulai Juni 2016 lalu.
Mengubah konsep
Catatan sejarah mengurai kisah di balik berdirinya lembaga PYc ini.
Awalnya, demikian papar Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro Ph.D, The Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) tidak pernah terpikirkan akan berformat dengan postur kelembagaan seperti sekarang ini.
Rumah residensial itu mula-mula hanya “berisi” koleksi buku yang jumlahnya tidak kurang 15 ribu plus aneka pernak-pernik barang cinderamata milik keluarga. Karena itu, cita-cita semula hanya ingin menjadikan rumah itu sebagai “perpustakaan keluarga” namun yang peruntukannnya didesain sebagai perpustakaan umum bagi khalayak ramai.
Namun, pemikiran progresif disertai visi berupa keinginan bisa memberikan sumbangsih apa untuk bangsa dan negara di masa depan langsung mengubah konsep awal tersebut. Dari yang semula digagas hanya mau memanfaatkan rumah itu sebagai “perpustakaan” langsung berubah menjadi sebuah “pusat studi dan riset” dengan fokus perhatian pada bidang energi, sumber alam, pertahanan, dan keamanan.
Sebagai Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) kurun waktu selama sembilan tahun (2000-2009) dan kemudian lima tahun sebagai Menteri Pertahanan (2009-2014), maka empat bidang kajian energi dan sumber mineral serta pertahanan dan keamanan itu praktis sudah menjadi “makanan sehari-hari” Purnomo Yusgiantoro. Karena itu, segera disepakatilah gagasan membangun sebuah lembaga pusat studi dan riset.
“Saya pulang dari studi di Amerika tahun 1990-an dan dua tahun kemudian mulai masuk ke lingkup kerja di pemerintahan,” papar Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro PhD dalam kesempatan memberi pengantar saat bertemu awak media di Kantor PYC di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu siang tanggal 22 Juni 2019.
Legacy
Nah, karena benar-benar menguasai kajian ilmiah dan pengalaman praksis menangani bidang energi dan sumber mineral serta isu-isu pertahanan dan keamanan, maka didesainlah PYC sebagai pusat studi dan riset. Ini dengan maksud, kata Purnomo Yusgiantoro, agar siapa pun bisa mengambil manfaat sehingga kegunaannya juga bisa menjangkau lebih banyak orang.
Sebuah legacy telah diretas Purnomo Yusgiantoro.
Melalui PYC ini, ia berharap bisa berbagi keilmuan dan pengalaman mengenai empat bidang studi dan dunia praksis yang selama 19 tahun terakhir ini telah menjadi ranah bidang keahliannya sebagai ilmuwan dan sekaligus praktisi kebijakan di jajaran birokrasi pemerintahan.
Apalagi, kata Purnomo Yusgiantoro, keputusan melahirkan legacy itu juga didasari oleh keinginan pribadi dan itu didukung oleh keluarganya untuk melakukan hal-hal baik yang sifatnya lebih meaningful dalam hidup dan purposeful dalam konteks pengabdian kepada bangsa dan negara.
Karena itulah, selain mendesain PYC sebagai lembaga pusat studi dan riset atas empat bidang kajian itu, Purnomo Yusgiantoro juga masih setia menyediakan waktunya untuk mengajar di alma maternya ITB, Lemhanas, dan Universitas Pertahanan yang dia besut bersama sejumlah pihak.
Independen dan mandiri
Kini, setelah tiga tahun eksis, PYC dikomandani oleh Filda C. Yusgiantoro Ph.D sebagai chairwoman. ”PYC mengusung konsep organisasi yang mandiri, non profit, dan independen,” kata Filda saat bertemu media.
Mandiri dalam artian punya kemampuan membiayai program dan irama keseharian kantor dari “kantong sendiri”. Non profit berarti tidak mencari untung, sementara independen berarti menjamin kebebasan lembaga tersebut untuk “menyuarakan” hasil kajian dan risetnya secara terbuka dan tidak dipengaruhi oleh “kanan-kiri”.
Berkontribusi
Dalam paparannya kepada insan pers di acara temu media hari Sabtu pekan lalu, Filda C. Yusgiantoro memaparkan antara lain kiprah PYC dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
- Projek melakukan kegiatan riset dan studi pertahanan dan ketahanan di Kepulauan Natuna yang dikerjakan bersama ITB dan Universitas Pertahanan. Hasil studi dan riset ini sudah terbit dalam bentuk buku bertitel Laporan Penelitian Bersama – Dampak Infrastruktur Maritim Dasar Laut di Wilayah Laut Natuna Indonesia Terhadap Keamanan Nasional.
- Program mendukung Festival Mahasiswa ITB (IPFest) dengan misi membantu meningkatkan prestasi mahasiswa Indonesia.
- Menyelenggarakan International Energy Conference di Jakarta tahun 2017. Acara sama berikutnya akandigelar di Jakarta, November 2019 mendatang.
- Bekerjasama dengan IPS melakukan kajian pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT); bersama ERIA melakukan kajian perencanaan sektor energi di Bappenas; dengan Climateworks bersinergi untuk kajian masalah lingkungan hidup.
International recognition UNESCO untuk kolintang
Namun PYC, demikian imbuh Filda, tidak hanya melulu berkutat di bidang keilmuan dan riset semata. Soalnya, PYC juga menaruh atensi besar pada pengembangan dan pelestarian nilai-nilai ke-Indonesia-an dalam khasanah budaya dan tradisi lokal.
Salah satunya adalah kontribusi PYC ingin bisa menggolkan kolintang yang merupakan instrumen musik ensemble khas asli Tanah Minahasa di Sulawesi Utara di UNESCO sebagai warisan budaya asli Indonesia.
Demi hal itu, PYC lalu menggandeng PINKAN (Persatuan Insan Kolintang Nasional) Indonesia agar grup ensemble musik ini bisa naik pentas di forum internasional.
“Penampilan grup kolintang persembahan PINKAN Indonesia sudah naik pentas di Sydney Opera House, Smithsonian Center di Amerika, New Jersey, PBB, dan Hotel Imperial Tokyo saat perayaan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang,” papar Filda.
Ke depan, PINKAN Indonesia yang digawangi Lies Purnomo akan bertolak menuju Paris untuk keperluan yang sama. PINKAN Indonesia ingin manggung naik pentas di Kota Mode di mana Kantor UNESCO itu juga berada.
“Ini biar gaungnya lebih kencang lagi, lantaran lokasi, berdekatan,” kata Filda setengah bergurau. (Berlanjut)
Ref: Indonesia’s energy sector booming with revenue reaching US$ 13.8 billion