Senin, 15 Februari 2021
Bacaan I: Kej 4:1-15.25
Injil: Mrk 8:11-13
HARI itu, saya sengaja mengunjungi umat di salah satu stasi, karena anaknya tidak mau pulang ke rumah sudah berhari-hari.
“Sejak sapi yang dia pelihara saya jual untuk menambah biaya beli kendaraan bagi kakaknya yang sekolah di kota, anak saya jadi kecewa dan tidak mau pulang ke rumah lagi,” kata bapak itu di depan teras rumahnya.
“Padahal sebelumnya sudah kami bicarakan, tapi dia diam saja,” kata bapak itu.
“Mestinya bapak bisa merasakan kekecewaan anak kita, dia yang susah-susah memelihara tidak menikmati hasilnya sedangkan kakaknya yang tidak keluar keringat malah menikmati hasilnya,” kata ibu.
“Kita ini keluarga, mana yang menjadi prioritas ya itu yang diutamakan,” kata bapak itu.
“Tidak boleh iri dan dengki,” kata bapak itu.
“Suatu saat, jika anak kita ini perlu sesuatu pasti akan saya usahakan,” lanjut bapak itu.
“Tandanya kita sayang sama anak-anak itu, jika anak-anak tidak terlantar, bukan diikuti kemauannya,” kata bapak itu.
“Menurut pastor bagaimana baiknya?,” tanya ibu
“Anak kadang perlu waktu untuk mencerna kebijaksanaan orangtua, yang sabar dan diajak komunikasi terus tentang apa yang menjadi prioritas bersama dalam keluarga,” kataku.
“Sekali peristiwa datanglah orang-orang Farisi dan bersoal jawab dengan Yesus. Untuk mencobai Dia mereka meminta dari pada-Nya suatu tanda dari surga.”
Orang Farisi mencobai Yesus dengan meminta tanda. Mereka iri hati dan cemburu hingga dengan segala cara mereka ingin mencelakakan atau mempermalukan Yesus.
Kadang rasa iri hati dan cemburu juga menggerogoti hati kita, hingga kita menjadi pribadi yang sulit, tidak bisa bahagia dengan keberhasilan orang lain.
Seperti anak yang tidak mau pulang ke rumah karena merasa orang tua lebih sayang pada kakaknya daripada kepada dirinya, hingga dia sembunyi dalam kekecewaan.
Apakah kita masih perlu tanda akan cinta kasih Tuhan dalam hidup kita?