PADA homili yang disampaikan di hadapan audiens umat Katolik yang menghadiri Perayaan Ekaristi di Kapel St. Albertus Magnus Unika Atma Jaya itu, Bapak Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo sekilas menyitir buku baru bertitel Kematian Yang Menakjubkan.
Mengapa Monsinyur Suharyo sampai berminat mengorek sedikit konten buku Kematian Yang Menakjubkan karya Herman Yoseph Susmanto tersebut?
Jauh hari dan sebelum buku baru Kematian Yang Menakjubkan ini resmi dirilis usai Perayaan Ekaristi di Aula Gedung Karol Woijtyla Unika Atma Jaya Minggu (11/3/18) kemarin, Mgr. Ignatius Suharyo sudah terlebih dahulu ‘mencicipi’ naskah draf buku ini.
Akhir cerita, Bapak Uskup Agung KAJ ini pun ikut memberi pengantar di buku ini bersama sejumlah tokoh lainnya yakni Harry Tjan Silalahi (CSIS Jakarta), Cyrillus Harinowo (Bank Indonesia, IMF Washington, BCA), dan Antonius Porat (Kelompok Bimbingan Hidup Sehat).
Merayakan tiga hal penting
Ketika dalam homilinya menyinggung buku Kematian Yang Menakjubkan itu, Mgr. Ignatius Suharyo memberi catatan penuh makna akan tiga hal penting dalam konteks misa peringatan 1.000 hari meninggalnya Yustina Monica Amirah dan terbitnya buku baru yang menandai peristiwa itu.
Menurut Mgr. Ignatius Suharyo, Kematian Yang Menakjubkan itu tidak bicara tentang peristiwa kematian yang oleh banyak orang selalu dipersepsikan sebagai ‘peristiwa’ yang menakutkan dan mencekam semua insan.
Buku Kematian Yang Menakjubkan –sesuai nafas atmosfir judulnya— justru bicara tentang bagaimana semestinya kita menyikapi ‘peristiwa’ kematian itu sebagai umat Katolik dari perspektif iman Kristiani.
Karena itu, dalam homilinya tentang buku baru ini, Mgr. Ignatius Suharyo lalu menyitir tentang tiga hal penting dalam olah rohani hidup beriman yang sebenarnya ingin dirayakan dalam misa peringatan 1.000 hari meninggalnya Ibu Yustina.
Satu, pertalian kasih antarmanusia dalam ikatan perkawinan Katolik mendapat status mulia sebagai Sakramen Perkawinan. Kasih antarmanusia yang serba terbatas dan selalu diwarnai pasang-surut itu, berkat rahmat ilahi Sakramen Perkawinan, semakin dimampukan agar makin sempurna dan menyerupai kasih Kristus kepada manusia.
Dua, proses bertumbuhnya iman akan kasih itu terjadi melalui pengalaman apa?
Menjawab pertanyaan ini, Mgr. Ignatius Suharyo menyitir konten buku Kematian Yang Menakjubkan yang menurutnya telah memberi ‘kunci jawaban’: pengalaman suka-duka dalam hidup perkawinan Katolik.
“Termasuk pengalaman menderita sakit serius sebagaimana dialami Ibu Yustina dan kemudian hal itu telah menjadikan Pak Susmanto ‘bertobat’ dan berubah diri,” jawab Monsinyur.
Dalam pengalaman menderita sakit itulah, manusia mengalami situasi ketidakberdayaan dan hanya bisa menggantungkan hidup sepenuhnya kepada ‘orang lain’ (baca: dokter, tenaga medik, dan juga Tuhan –Red.).
“Pasien sudah tidak berdaya dengan sakitnya. Namun, sanak-keluarga tetap berusaha ingin ‘menyelamatkan’ dengan bantuan tindakan medik dan lainnya. Manusia ingin sembuh, namun juga tak berdaya ketika akhirnya ajal datang menjemputnya,” tutur Monsinyur Suharyo.
Di situlah terjadi pengalaman saling meneguhkan, saling menguatkan antaranggota keluarga, para sahabat. “Dan pengalaman itulah yang dialami oleh pasutri Pak Susmanto – alm. Ibu Yustina, dan juga anak-cucu mereka,” papar Mgr. Ignatius Suharyo.
Ketiga, mesti kemana manusia ‘mengeluhkan’ semua kondisi ketidakberdayaan itu, ketika sakit serius menerpa tubuh dan tanda-tanda ajal segera akan menjemputnya?
Terhadap pertanyaan itu, Bapak Uskup Agung KAJ kembali menyitir konten buku Kematian Yang Menakjubkan itu.
Herman Yoseph Susmanto dan almarhumah isterinya Bu Yustina, kata Monsinyur, lalu melakukan ziarah batin dengan berdoa, menyediakan waktu khusus untuk ‘bercakap-cakap’ dengan Tuhan; baik di beberapa lokasi peziarahan devosional maupun di ruang privat di rumahnya.
Kegiatan berdoa, meditasi, dan kontemplasi itu menjadi jawaban atas kegelisahan manusia ketika mengalami situasi ketidakberdayaan tersebut.
Konklusi
Pengalaman-pengalaman formatif inilah, tegas Monsinyur Ignatius Suharyo, yang kemudian oleh Herman Yoseph Susmanto lalu dirangkai menjadi sebuah kisah sejarah kehidupan tentang perjalanan olah rohani ‘manusia beriman kristiani’ yang ingin memaknai peristiwa kematian itu dalam perspektif iman Katolik.
Tak sama dengan kebanyakan orang yang melukiskan peristiwa kematian itu sebagai sesuatu yang ‘menyedihkan’ dan menghadapinya dengan perasaan takut, Ibu Yustina justru mampu menerima dengan pasrah jiwa akan keniscayaan hidup.
Ibu Yustina, kata Mgr. Ignatius Suharyo, sudah pasrah batin karena sebentar lagi akan mati dan meninggalkan suami, anak dan cucu untuk ‘beralih’ ke panggung kehidupan yang lain.
Dan beliau akhirnya meninggal dengan senyum. (Berlanjut)
Kredit foto: Christoporus Tri Djoko Irwanto
http://www.sesawi.net/2018/03/13/peringatan-1-000-hari-meninggalnya-yustina-monica-amirah-merayakan-tiga-hal-penting-kata-mgr-ignatius-suharyo-1/