SESUNGGUHNYA, kita tak pernah benar-benar percaya, bahwa Tuhan itu ada. Para filsuf menyebutnya, atheisme praktis, ketidakpercayaan pada Tuhan dalam tindakan, meskipun selalu memuji dan mengakui-Nya.
Vijay Eswaran, seorang pejiarah batin, menulis begini, “Jika Anda menerima Tuhan, Anda harus memahami bahwa Dia ada dalam semua yang kita lakukan. Dalam semua relasi. Dalam semua tantangan. Dalam semua rintangan. Kerja sebagai ibadah jika dilakukan bersama-Nya di pikiran kita. Jika tanpa menyertakan Dia, pekerjaan itu akan menjadi pengakuan dosa.”
Tuhan bukan soal dimana Dia ada
Tuhan itu bukan soal dimana Dia berada sehingga kita membangun sebuah rumah untuk berdoa atau sebuah tempat yang kita sebut tanah suci. Bukan soal kapan waktu yang tepat untuk bertemu dengan-Nya, sehingga kita menetapkan hari dan waktu tertentu untuk berdoa.
Seorang sufi menulis, “Mereka yang jauh dari Ka’abah berdoa dengan menghadap Ka’abah. Tetapi mereka yang berada di dalam Ka’abah, berdoa menghadap kemanapun yang mereka inginkan.”
Semua tempat suci dan semua waktu bernilai di mata Tuhan. Jika tidak, kenapa Dia menciptakan-Nya. Tuhan juga bukan soal teologi seperti apa dan filsafat aliran mana, sehingga konstruksi di luar skenario pikir itu sesat dan bidaah.
Tuhan itu adalah soal apa yang kita yakini ketika kita bertindak. Tindakan yang kita lakukan dengan kesungguhan hati, telah menjadi doa. Maka, hidup ini adalah sebuah kitab suci tertua dan terbuka yang ditulis oleh Tuhan sendiri, alam ini adalah ruang ibadah kita tanpa dinding dan tanpa atap, sesama kita adalah wujud wajah-wajah Tuhan yang menyamar yang perlu kita layani dengan setulus hati dan tindakan kita adalah ritual suci di hadapan altar agung Yang Illahi.