BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Sabtu, 22 Januari 2022.
Tema: Jiwa yang bertempur.
Bacaan
- 2 Sam. 1: 1-4, 11-12, 19, 23-27.
- Mrk. 3: 20-21.
“SAYA harus fight lagi, Romo. Saya tidak boleh kalah dan patah arang.
Saya harus tetap berdiri teguh di dalam kebenaran firman. Tidak boleh terombang-ambing saat harus berhadapan kuasa pengrusak; kebahagiaan palsu,” curhatan seseorang.
“Memang ada apaan?”
“Saya telah hanyut terbuai oleh kehidupan duniawi. Kenikmatan dan keremangannya. Saya tenggelam dalam gempita duniawi yang hanya menghasilkan kehampaan.
Akhirnya saya habis dan tak berdaya.
Harta satu-satunya yang berharga pun yakni keluarga ikut memudar bahkan berantakan,” jelasnya.
“Kenapa bisa?”
“Awalnya sangat sederhana dan menggoda. Saya hnya mengikuti naluri lelaki saja; tanpa ada rasa was-was kalau sekali waktu bisa terjerumus juga.
Suatu saat, saya berbeda pendapat dengan pasangan. Saling emosi, luapkan kemarahan. Kami saling tersulut emosi.
Saya lalu curhat pada seseorang. Ia mengajak dan menghibur. Kami pergi minum dan bernyanyi bersama di kafe untuk karoke. Hati ini bisa terhibur bukan kepalang,” kenangnya.
Ganasnya kehidupan malam
“Bro, inilah sejenak dunia kita. Sedikit melepaskan jenuh, ketegangan, tidaklah mengapa,” godanya.
“Mereka pun butuh makan. Kita butuh dihibur. Apa salahnya?” kata sahabatku yang lain.
“Dari semula sekadar keisengan saja, akhirnya saya malah jadi ketagihan. Setiap bertengkar di sini, cari mendapatkan pelarian yang menghibur.
Saya dimanja, diper-tuan-kan. Sejenak melepas penat. Keluargaku jadi urusan nomor kedua.
Selama 24 jam saya jadi terbukai menikmati. Lama-lama menjadi pembenaran. Daripada bersama, tapi tengkar terus.
Memang sih tak ada perubahan di dalam keluarga. Semua serba berantakan dan amarah. Tidak ada waktu untuk diam. Selalu ada saja yang diperkarakan.
Lama-lama kami kehilangan kontrol. Emosional. Sepakat berpisah.
Saya pindah kerja di kota lain.
Semua kenangan dan keluarga terlupakan. Semakin menjauh. Masa lalu sekedar bayangan semu.”
Kematian mendadak menjemput
Empat tahun berjalan.
“Teman saya minum tiba-tiba saja meninggal tersendak. Sesaat kehilangan nyawanya. Tapi hidup saya tidak berubah. Sendiri melanjutkan kehidupan. Semakin tidak ada yang berarti, kecuali kerja dan menghibur diri,” katanya berapi-api.
“Apa yang kemudian bisa menyadarkan?”
“Kenangan itu menyakitkan. Kadang luka lama memar lagi. Hati tak ingin berdamai. Kobaran amarah masih tersisa. Namun wajah-wajah orang yang saya kasihi tetap ada.
Kebingungan pun mulai. Keragu-raguan mulai merayap dalam hatiku Adakah mereka baik-baik. Toh, aku pun juga ikut salah.
Batin mulai mengingatkan kembali saat-saat bersama. Nalar ingin melupakan. Rasa malu pun mulai mengusik hati,” kenangnya saat dia mulai ingin bertobat.
“Lalu saat-saat itu apa yang diingat?”
“Kepergian sahabat masih menyisakan duka. Saya tidak lagi mencari penghiburan. Takut. Semua itu sia-sia. Segalanya berantakan. Tak ada yang dibanggakan. Tak ada arti hidup ini. Tanpa uang, orang dengan mudah melupakan kita.
Momen indah pertobatan
Suatu saat, saya pulang melewati sekolah anak saya. Terlihat isteri berjalan bersama puteri yang terkecil bergandengan tangan.
Sebuah pemandangan indah yang tak terlupakan. Saya pun pernah menggandeng tangannya. Keinginan mau menggandeng tangan itu tiba-tiba muncul.
Dan aku pun hanya bisa menangis.
Berhari-hari saya sengaja lewat. Menanti pemandangan yang sama. Mereka berjalan bersama. Bergandengan tangan. Kadang mengusap kepala dan membelai rambut anakku yang kecil.
Masihkah kenangan itu kembali untukku?
Tanpa sadar, airmata mulai menetes. Tanpa kusadari, aku melewati gereja parokiku.
Aku berhenti sebentar. Kenangan indah yang mulai muncul. Di sinilah kami menikah dan diberkati. Mengucap janji dan berjanji.
Kini, aku hanya bisa menangis.
Akankah aku bisa kembali ke rumah Tuhan? Sekedar mengeluh akan beratnya beban.
Siapa tahu, Ia tetap mau menerimaku kembali anaknya yang “hilang”?
Hari-hariku kemudian, kukenang momen-momen indah; melihat anakku dan mengenang gerejaku. Kadang hatiku merintih dan memberontak. Tak jarang sedikit lega, kendati kecil getarnya.
Damai dengan diri sendiri, merawat hidup
Sesaat saya menelepon seorang romo yang kukenal. Kuceritakan semuanya.
Dia hanya berkata, “Berdamailah dengan dirimu sendiri dulu. Cintailah. Rawatlah hidupmu.”
Kujalani nasihatnya. Kumohon mempertemukan aku dengan keluargaku.
Aku ingin pulang.
Kini, jiwaku dalam pertempuran. I love my family.
“Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi.” ay 21.
Tuhan, tuntun aku kembali pada-Mu dan keluargaku. Amin.