Home BERITA Tinjauan Filosofis Tradisi Wuat Wa’i Masyarakat Manggarai Flores (1)

Tinjauan Filosofis Tradisi Wuat Wa’i Masyarakat Manggarai Flores (1)

0
Tradisi Patungan Wuat Wai di Manggarai, Flores. (Kompasiana via Koropak)

KABUPATEN Manggarai di Flores, NTT, merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan alam; baik ekonomi maupun budaya warisan para leluhur.

Ini menjadi kebangaan terbesar, karena dengan kekayaan alam tersebut masyarakat Manggarai boleh menikmati dan menghidupi nilai-nilai dari budaya yang diwariskan para leluhur secara turun temurun.

Oleh karenanya, sangat penting melestarikan keberagaman budaya dan tradisi warisan para leluhur masyarakat Indonesia. Mengapa demikian?

Melihat realitas bahwa masyarakat Indonesia saat ini kurang mempelajari kearifan lokal yang ada di Nusantara ini. Maka sangat perlu generasi-generasi muda zaman sekarang melihat kembali kekayaan-kekayaan budaya dan mempelajari nilai-nilainya yang terkandung di daerah masing-masing.

Tradisi Wuat Wa’i

Setelah ditelaah lebih jauh, kearifan lokal yang ada di bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya. Salah satunya ialah tradisi yang ada di daerah Manggarai yakni wuat wa’i.

Tradisi wuat wa’i daerah Manggarai setelah ditelusuri, ada begitu banyak nilai-nilai filosofis yang perlu dikaji dan dihidupi dalam konteks masyarakat Manggarai dan seluruh daerah Nusantara ini. Tradisi wuat wa’i memuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan, gotong royong, kerjasama, solidaritas, kebijaksanaan.

Wuat wa’i berasal dari dua suka kata Wuat dan Wa’i.

  • Wuat artinya “pembekalan”.
  • Wa’i artinya “kaki”.
  • Jadi wuat wa’i dapat dipetik maknanya sebagai pemberian bekal kepada seseorang yang ingin berjalan jauh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.[1] 

Pemberian bekal dalam artian dukungan moril baik dari keluarga dekat atau pun keluarga kenalan. Biasanya acara wuat wa’i ini ada toroknya dan ada hewan yang siap dikorbankan untuk dijadikan persembahan dalam acara tersebut.

Hewan biasanya seekor ayam putih jantan (Manuk lalong Bakok). Menurut pemahaman dan keyakinan masyarakat Manggarai “manuk bakok” yang memiliki makna ada niat hati yang tulus dan murni serta keinginan mulia.

Acara wuat wa’i yang dilakukan di masyarakat Manggarai sistemnya bergilir. Bergilir dalam artian misalnya di sebuah kampung ada pemuda atau pemudi yang sudah selesai menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Dan menyiapkan diri dengan baik untuk menempuh pendidikan di tingkat yang lebih tinggi di saat itulah acara wuat wa’i atau pesta sekolah diadakan.

Di dalam Pancasila pun terkandung nilai-nilai cinta akan kebersamaan, kebajikan, keadilan yang menuntun manusia untuk berpikir, bertutur kata dan bertindak dengan baik.

Akar kata

Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta “panca” artinya “lima”sedangkan “sila” artinya “prinsip atau ajaran”. Jadi Pancasila diartikan sebagai lima fondasi, prinsip dan ajaran negara Indonesia. Pada hakikatnya, Pancasila merupakan fondasi dan ideologi negara Indonesia yang tertera di dalam pembukaan UUD 1945.[2]

Pancasila sebuah perspektif tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang menerangkan nilai-nilai fundamental dan menjadikan patokan bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Sangat kontras sekali bahwa Pancasila sebagai jantung negara Indonesia.

Sesuai dengan formulasinya yang tertulis secara jelas berdasarkan perspektif  hidup bagi orang Indonesia. Tidak ada kelirunya bahwa Pancasila sebagai dasar yang melandasi bangunan negara Indonesia.

Artinya, ada relasi intrinsik antara negara Indonesia dengan Pancasila sebagai fondasi landasannya. Merawat, menjaga keutuhan Republik Indonesia berarti mempertahankan Pancasila sebagai ujung tombak atau dasar, jika Pancasila ditolak sebagai dasar ideologi negara itu berarti merombak bangunan Republik Indonesia.

Secara kultur fondasi-fondasi gagasan dan tujuan Pancasila pada intinya bertitik pada budaya bangsa. Nilai luhur Pancasila pada hakikatnya memuat dengan jelas dalam kebudayaan bangsa yang meluas di seluruh kepulauan nusantara yang terbentang dari ujung ke ujung. Pada abad-abad sebelumnya, maupun pada abad ke-20 masyarakat Indonesia telah memperoleh peluang untuk berinteraksi, berkomunikasi dan berkulturasi dengan kebudayaan lain. Maka sebuah kebanggaan  terbesar bahwa nilai-nilai luhur Pancasila sudah mendarah daging dengan budaya baik tradisional maupun modern.[3]

Kalau ditinjau dari sudut pandang politis bahwa Pancasila merupakan hasil usaha para kesatria bangsa Indonesia atas dasar kerja sama yang serba beraneka ragam. Suatu kesepakatan bersama nasional yang mampu menggalang dan menjamin persatuan dan kesatuan bangsa menuju sesuatu keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang penuh damai sejahtera.

Kita patut mengapresiasi bagi para pejuang yang telah memerdekakan tanah tercinta ini. Tugas kita sebagai pemuda dan pemudi bangsa Indonesia di nusantara ini ialah melestarikan warisan-warisan budaya lokal yang diberikan oleh para pendahulu negara ini. Dalam hal ini  membangun kesadaran bahwa Pancasila sebagai dasar persatuan bangsa Indonesia yang beraneka ragam. (Berlanjut)


  • [1] Tradisi Wuat and Wai Bekal, Volume  7, November 2021, Nomor  4, 2021, 2021, 237.
  • [2] Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 3-4.
  • [3] Ibid, 5.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version