ORDO Karmel (O.Carm) adalah kelompok religius yang anggota-anggotanya mengaku diri sebagai putera-puteri Nabi Elia. Mereka juga mengangkat nabi besar dalam Perjanjian Lama ini sebagai inspirator mereka.
Mengapa demikian? Ada jawaban historis dan spiritual.
Pertama, secara historis para Karmelit memulai komunitas mereka pertama kali di Gunung Karmel, Israel. Tepatnya di dekat Sumber Elia (Wadi’ain es-Siah). Di situ juga terdapat gua yang dipahami sebagai gua tempat Nabi Elia pernah tinggal (bertapa?).
Kedua, alasan spiritual. Para Karmelit berkumpul dan mendirikan komunitas mereka yang pertama di dekat Sumber Elia dengan tujuan tertentu. Mereka ingin meneladan Nabi Elia, khususnya dalam bersemuka dengan Allah. Elia itu nabi besar yang membela Allah di hadapan orang Israel yang menyembah Nabi Baal (1 Raj 18:16-19:8).
Para rahib Karmelit pertama
Sebagai seorang Karmelit, Titus Brandsma memahami hal itu. Ia membaca buku dari Rahib-rahib Pertama (Liber de Institutione Primorum Monachorum).
Buku ini berbicara tentang rahib-rahib awal Karmel ini dan sebagian besar membahas tentang Nabi Elia.
Titus Brandsma juga banyak berbicara dan menulis tentang Nabi Elia. Dalam satu kuliahnya tentang hidup kontemplatif, dia menjelaskan tentang semangat dan kekuatan Elia.
Tiga hal tentang Nabi Elia
Di sana Titus Brandsma antara lain menegaskan tiga hal penting terkait doa.
Pertama, kehadiran Allah yang hidup. Merasakan dan mengalami Tuhan yang hadir dalam kehidupan ini sangat penting dalam doa. Menempatkan diri di hadapan Allah yang hidup itulah ciri atau sifat utama para Karmelit. Doa menyadarkan orang akan Allah yang hadir.
Kedua, hidup dalam keheningan. Doa itu relasi pribadi dengan Tuhan yang memerlukan keheningan. Walau nabi Elia adalah nabi yang sangat aktif, dia selalu kembali ke dalam keheningan. Di sanalah dia menemukan secara tenang kehadiran Allah. Keheningan itu membantu manusia untuk masuk ke dalam ciri khas ketiga dari doa.
Ketiga, kelepasan dari dunia (detachment). Doa -khususnya kontemplasi hanya bisa dilakukan- bila orang melepaskan diri dari ikatan dengan apa pun yang bukan Tuhan.
Berdoa menuntut perjuangan, karena pemberian Allah itu memerlukan pula tangan atau hati manusia yang terbuka untuk menerima atau mengalami Tuhan.
Yang sangat istimewa dari Titus Brandsma bukan pengetahuannya tentang nabi ini. Bukan pula kuliah atau kotbah tentang nabi yang mengalami kehadiran Tuhan dan membela-Nya. Tetapi sikap hidup dan sepak terjang Titus Brandsma yang menunjukkan Allah yang hadir di dalam dirinya.
Kepekaannya terhadap Allah yang hadir dan pengalamannya bersatu dengan-Nya tidak mendadak terjadi. Seperti dia katakan sendiri rahmat (pemberian) Allah itu membutuhkan disposisi dari mereka yang menerimanya.
Kebiasaan berdoa dan merayakan ekaristi sejak kecil menjadi persiapan penting bagi ditaburkannya rahmat Allah dalam hatinya. Persiapan itu makin matang seiring dengan formasi dirinya, baik di Seminari Menengah maupun saat sudah bergabung masuk ke dalam Karmel.
Nabi Elia dan keheningan
Titus Brandsma menghayati teladan Nabi Elia, khususnya dalam menghayati hidup doa (keheningan) dan berkarya di tengah masyarakat. Karena itu, bisa dimengerti dia amat sibuk dan selalu ditemukan sedang bekerja atau berdoa.
Karena memahami dan meyakini hidup doa dan karya Nabi Elia, Titus Brandsma dengan gagah berani mewujudkan keyakinannya itu. Secara khusus hal itu tampak ketika dia harus membela kebenaran dan keadilan.
Melawan Nazi
Seperti Nabi Elia yang membela hak Tuhan di hadapan bangsa Israel yang tersesat menyembah Baal, demikian pula Titus Brandsma mempertahankan iman akan Tuhan dan kebenaran ajaran Katolik.
Ketika berhadapan dengan paham Nazi Jerman yang rasis, melanggar hak asasi manusia, dan kebebasan beragama Titus Brandsma lantang menentang.
Seperti nabi Elia melawan nabi-nabi Baal, demikian Elia melawan nabi-nabi palsu (Nazisme) yang dijumpainya.
Semua langkahnya mengandung konsekuensi.
Sebagaimana nabi Elia setelah menghabisi Nabi Baal dikejar oleh Izebel, isteri Ahab (1 Raj 19: 1-8), demikian pula Titus Brandsma dicari oleh tentara Nazi Jerman dan kemudian dieksekusi. Dengan cara disuntik mati di Kamp Konsentrasi Dachau. (Berlanjut)