BOM di Surabaya menggemparkan seantero Pulau Jawa. Setidaknya beberapa kawan wartawan dari kantor saya, segera dikirim ke Surabaya untuk meliput langsung kejadian tersebut. Saya sendiri kebagian tugas untuk meliput pernyataan sikap PGI dan Uskup Jakarta. Ada hal menarik saat Bapak Uskup memberikan pernyataannya. Beliau menceritakan soal dua perempuan Muslim berhijab yang dengan sigap membagikan mawar putih dan permen di depan Gereja Katedral, beberapa saat setelah kejadian bom di Surabaya. Bunga dan permen menjadi tanda keindahan dan rasa manis. Tindakan kedua saudari Muslim tersebut juga sama indah serta manisnya, seperti tanda mata yang mereka bagikan.
Panik, situasi mencekam, tambahan terror yang terjadi di beberapa tempat kala itu. Namun kedua perempuan tadi, berusaha bersikap tenang, dan berusaha menenangkan pihak lain. Menurut saya, mereka berusaha melibatkan diri dan bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Tujuannya jelas, kebaikan banyak pihak (bonum commune). Sikap berani melibatkan diri dan bertanggung jawab ini juga yang sedang dilakukan oleh teman-teman Agenda 18 dan Wahid Institute. Apa tujuannya? Mewujud-nyatakan toleransi.
Toleransi seperti apa? Toleransi yang bukan sekadar nyanyian di Gereja atau ceramah manis di mulut. Toleransi yang ditunjukkan dalam sikap dan perbuatan. Hal ini menarik untuk dibahas sebab kata toleransi sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerare. Kata tolerare sendiri memiliki beberapa pengertian, seperti; membawa, memegang, memaku, menanggung beban, memelihara dengan susah payah, mempertahankan supaya hidup. Dalam bahasa Inggris setidaknya ada dua kata yang digunakan untuk merujuk pada tolerare yaitu tolerance dan toleration. Tolerance merujuk pada sikap, sedangkan toleration merujuk pada praksis.
Apa yang dilakukan oleh kedua saudari Muslim tadi, adalah wujud tolerare mereka. Apa yang sedang direncanakan oleh Agenda 18 dan Wahid Institute adalah wujud tolerare kami. Tujuannya adalah memperkenalkan kepada umat Katolik, bahwa ada bermacam-macam pemahaman dalam ajaran Islam. Salah satu variasi dalam ajaran Islam tidak menggambarkan umat Islam secara keseluruhan. Di sisi lain, kami ingin menggaris bawahi pernyataan coordinator eksekutif Indonesia Intelligence Institute, Ridwan Habib. Sudah saatnya kita mengakui, bahwa mereka yang salah memahami satu ajaran, juga bagian dari kita. Hal ini diperlukan, agar kita tidak abai dan merasa perlu untuk menyebar luaskan pemahaman yang benar.
Dengan latar belakang Katolik, apakah tepat bagi Agenda 18 menyelenggarakan kegiatan ini? Ini bukan soal tepat atau tidak tepat. Ini soal tanggung jawab yang harus kita pikul bersama. Latar belakang Agenda 18 memang berbeda, dengan apa yang hendak disampaikan. Tetapi kami melihat ini sebagai perbedaan yang memperkaya, bukan sebagai perbedaan yang mengkotakkan mana kewajibanku dan mana kewajibanmu. Toleransi harus digalakkan sedini mungkin. Jangan sampai, toleransi menjadi pilihan terakhir saat pilihan lain sudah tidak mungkin. Setiap orang harus menginsyafi bahwa toleransi adalah harga mati untuk hidup bermasyarakat di Indonesia, dan di manapun.
Sebagai penutup, izinkan saya memakai kutipan Jacques Dupui tentang toleransi, yang digunakan Dr. Heru Prakosa dalam tulisannya di majalah Basis. “Pluralisme agama harus dipandang tidak hanya sebagai kenyataan yang harus ‘ditanggung’…, tetapi juga sebagai kasih karunia ilahi untuk disyukuri, dan kesempatan untuk ditanggapi, selayaknya sebuah anugerah, dan tugas. Pluralisme agama, pada prinsipnya, berdasar pada inisiatif Allah sendiri, yang dalam karya-Nya mau mencari orang-orang melalui sejarah, untuk berbagi Bersama mereka, ‘cara-cara hidup Allah yang beraneka ragam’, bahkan sebelum manusia dapat mencari Allah.”