Home BERITA Tradisi Nugal yang Penuh Filosofi

Tradisi Nugal yang Penuh Filosofi

0
Ilustrasi: Tradisi nugal di kalangan masyarakat Dayak di Kalimantan. (Sr. Ludovika SFS)

Puncta 17.09.22
Sabtu Biasa XXIV
Lukas 8: 4-15

MASYARAKAT Dayak punya tradisi menanam padi yang disebut nugal. Tradisi ini punya banyak nilai filosofis. Misalnya nilai gotong-royong, kebersamaan dan menjunjung kearifan lokal sebagai warisan leluhur.

Sebelum nugal orang akan membuka lahan dengan cara membakar hutan. Tidak sekedar membakar, tetapi ada aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Misalnya api harus dijaga agar tidak keluar batas yang sudah ditentukan.

Setelah lahan dibakar, abu bekas pembakaran ditunggu 10-15 hari agar menyatu dengan tanah dan menjadi pupuk.

Sangat bagus jika sesekali ada hujan turun. Setelah itu acara nugal akan dimulai.

Orang-orang sekampung akan turun di ladang. Mereka gotong royong dengan sukacita.

Nugal berarti melubangi tanah dengan alat yang lancip di ujung bawah. Lubang tanah itu nanti akan ditaburi benih padi oleh para ibu-ibu yang berjalan di belakang bapak-bapak.

Benih yang ditabur kadang tidak semuanya masuk ke lubang. Ada yang tercecer di tanah. Ada yang di bebatuan atau di bawah pohon besar yang tumbang.

Para ibu harus menunduk sambil menabur benih. Tindakan ini dimaknai sebagai tanda menghormati benih yang ditabur.

Benih adalah kehidupan. Siapa yang menghargai kehidupan akan memanen hasil yang melimpah.

Petani membutuhkan tanah yang baik, cukup air dan bebas dari hama. Kalau tanahnya tidak baik, benih tidak bisa tumbuh subur dan menghasilkan panenan yang banyak. Tanah yang subur diperlukan bagi benih yang baik.

Yesus memberi perumpamaan kepada orang banyak tentang penabur. Benih yang ditabur jatuh di berbagai jenis tanah.

Ada yang jatuh di pinggir jalan. Ada yang jatuh di tanah berbatu. Ada pula di antara semak berduri dan ada yang jatuh di tanah yang subur.

Benih yang jatuh di tanah subur akan menghasilkan buah yang banyak.

Benih itu adalah sabda Allah. Tanah itu adalah kita semua yang mendengarkan sabda Tuhan. Sabda Allah pastilah baik.

Tetapi kita ini tidak semua menjadi tanah subur. Ada banyak sekali kondisi dan hambatan yang membuat sabda Tuhan tidak berkembang baik.

Sikap acuh tak acuh membuat sabda Tuhan hilang dimakan waktu. Sikap malas membuat sabda Tuhan seperti dihalangi semak berduri.

Sikap “hangat-hangat tahi ayam,” membuat sabda Tuhan jatuh di tanah berbatu. Sebentar tumbuh selagi ada semangat, tapi tak lama kemudian layu karena tak pernah disirami.

Sabda Allah jadi benih yang subur jika kita mau mendengar dan melaksanakannya. Kita hidup dari Sabda Tuhan.

Hidup menjadi sumber kegembiraan sehingga banyak orang tertarik untuk menimba semangat kita.

Mari kita menghidupi sabda Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari, agar kita mampu menjadi tanah yang subur dan menghasilkan buah sukacita dan kedamaian.

Setiap pagi menghadap ke timur,
Memandang ufuk merah jingga.
Hidup kita adalah tanah yang subur,
Jika mau berbagi damai dan sukacita.

Cawas, jadilah tanah subur…

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version